Pagi itu,
Senin 26 Mei 2014 aku mendapat informasi dari bidang Pengabdian Kepada
Masyarakat tentang kebutuhan sekantong darah golongan O. Seorang ibu yang akan
melahirkan sedang berada di rumah sakit membutuhkannya untuk operasi persalinan.
Saat itu UDD PMI sedang kehabisan stok darah O sehingga meminta bantuan pada KSR
PMI Unit Universitas Jember untuk mengusahakan pendonor. Ya, sebagai anggota memang
selalu menjadi alternatif bagi organisasi kami untuk mengusahakan pendonor,
baik dari anggota sendiri maupun UKM tetangga.
Informasi
tersebut tidak langsung ku iyakan. Di satu sisi aku ingin membantu, namun di
sisi lain aku ragu karena mungkin periode haidku akan datang. Ah, kenapa harus
pikir panjang? Bismillah, kucoba saja semoga lolos untuk donor. Apalagi untuk
nyawa yang akan terlahir ke dunia, saat ini yang si ibu butuhkan adalah
sekantong darah untuk kelancaran persalinannya.
Tidak lama
kemudian aku ke UDD untuk donor. Tak henti-hentinya aku berdoa dalam hati semoga
lolos pemeriksaan kesehatan dan diperbolehkan untuk donor. Sepertinya tekanan
darahku agak rendah, namun aku tidak pusing dan Hb-ku normal. Syukurlah, aku
diperbolehkan untuk donor. Setetes demi setetes darahku keluar dengan lancar
melalui selang hingga memenuhi kantong.
“Sudah
selesai, Mbak. Apa Mbak merasakan pusing?”, tanya petugas dengan senyum
ramahnya.
“Oh, tidak,
Mbak.”, jawabku. Ia pun menyarankanku berbaring sejenak supaya aku tidak
pusing.
Sudah lima
menit, kuputuskan untuk berdiri dan keluar dari ruang donor. Saat berjalan
keluar barulah pandanganku menjadi gelap dan aku merasakan pusing. Dengan mata
sedikit terpejam, aku berjalan sambil meraba tembok. Setelah duduk di kursi
lobi, aku semakin pusing, keringat dingin, aku pun mual dan muntah. Aih,
memalukan sekali. Masa’ anak KSR collapse
setelah donor? Kenapa aku seperti ini? Biasanya donor baik-baik saja. Apa aku
kehabisan banyak darah? Ah, pikiranku menjadi tak karuan.
Kondisiku ini
malah membuat keluarga pasien khawatir, mereka pun memberiku minyak angin dan
teh. Aduh, niatku untuk membantu, untuk kemanusiaan, koq malah merepotkan, sih? Aku pun berusaha meyakinkan mereka bahwa
aku baik-baik saja, supaya mereka tidak terlalu khawatir. Setelah kondisiku
memulih, mereka bergegas menuju rumah sakit untuk menemui kaluarganya yang akan
melahirkan.
“Terima
kasih, Mbak. Maaf Mbak-nya sampai pusing. Ini, sebagai rasa terima kasih.”,
kata ibu pasien sambil memberikan selembar amplop.
“Tidak perlu
repot-repot seperti ini, Bu. Justru saya yang minta maaf sudah membuat ibu
khawatir.”, jawabku sambil mengembalikan amplop tersebut.
Walaupun
sudah berusaha kukembalikan pemberiannya, tapi beliau tetap saja memaksa. Ah,
apa-apaan ini? Niatku sukarela mendonorkan darah, karena bagaimanapun ini untuk
kemanusiaan. Akhirnya pemberian dari beliau kuserahkan ke organisasi.
Sesampainya
di rumah, aku langsung tidur dan memperbaiki nutrisi. Susu, minuman ion, roti,
dan sebagainya aku konsumsi karena takut terjadi hal yang lebih buruk. Sore
harinya, ternyata aku benar-benar haid. Hmmm pantas saja tadi pagi setelah
donor langsung down. Syukurlah tidak
terjadi apa-apa padaku, yang telah donor darah dan haid di hari yang sama.
No comments:
Post a Comment