Tiga tahun lalu, saya menuliskan tiga kata di antara ribuan kata
lainnya pada sebuah buku tak bergaris yang bertuliskan “Nadia’s Bucket List” di
halaman pertamanya. Tiga kata tersebut adalah “donate my blood”. Walaupun
sampai detik ini saya belum dapat mendonorkan darah dikarenakan umur saya yang
masih tujuh belas tahun kurang tiga bulan, mendonorkan darah adalah salah satu
hal pertama yang saya akan lakukan saat saya sudah menginjak umur tujuh belas.
Kebanyakan teman dekat saya mengernyitkan dahi saat membaca tiga kata tersebut
karena memang saya dikenal takut dengan darah. Ya, memang benar saya merasa
lemas jika melihat darah. Lalu, mengapa saya mempunyai impian untuk mendonorkan
darah? Karena saya adalah manusia.
Mungkin saya belum bisa berkontribusi banyak terhadap masyarakat
saat ini. Namun kelak, saat saya mendonorkan darah nanti, saya berharap bahwa
darah yang akan saya sumbangkan akan menolong seseorang yang akan berguna bagi
keluarganya, lingkungan sekitarnya, bangsanya, serta seluruh manusia di dunia. Saya
akan sangat berharap bahwa resipien dari darah yang kelak akan saya donorkan nantinya
adalah manusia yang memanusiakan manusia.
Penggambaran dari potensi kecerdasan manusia pun
tidak terbatas pada IQ (Intelligent
Quotient), melainkan adanya EQ (Emotional
Quotient), serta SQ (Spiritual
Quotient). Dalam mengasah potensi tersebut, dibangunlah sebuah lembaga
pendidikan. Menariknya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet
Indonesia Bersatu II, M. Nuh pada sebuah sambutannya mengatakan bahwa
pendidikan tak hanya menyelesaikan atau menjawab
persoalan yang sifatnya sangat teknis dan kekinian semata. Melainkan lebih jauh
dari itu, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya memanusiakan manusia untuk
membangun peradaban yang unggul.
No comments:
Post a Comment