Monday, May 25, 2015

(16) Andi Ardianto : Saat Sama - Sama Butuh

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2012 yang lalu saat aku masih kuliah semester enam. Kata orang, mahasiswa adalah pengangguran yang dibayar. Tidak perlu bekerja, uang kiriman datang tiap bulan. Tidak sepenuhnya salah memang karena kebanyakan mahasiswa memang dituntut untuk fokus belajar sehingga orangtua biasanya tidak sungkan mengirim uang berlebih. Namun kita tidak bisa menutup mata pada segelintir mahasiswa yang keluar dari zona nyaman bernama “pengangguran tidak kelihatan” dengan menyambi bekerja. Diantara mereka memang ada yang memilih bekerja karena alasan ingin mandiri meski orangtua masih sanggup membiayai. Namun ada pula yang sambil bekerja karena tuntutan, saat biaya bulanan dari orangtua tidak mencukupi.
Aku mungkin salah satu dari kelompok mahasiswa yang pertama, bekerja karena alasan ingin mandiri. Semasa kuliah, uang bulananku memang tidak pernah telat. Selalu ada saja uang di dompet atau di ATM. Saat teman-teman pulang di akhir pekan karena uang habis, aku masih bisa membeli banyak barang, meski sebenarnya aku tidak suka jajan.

Hal ini juga dialami salah satu teman seangkatan, meski dengan alasan berbeda. Uang bulanan yang tidak mencukupi menuntutnya memutar otak agar perut terus terisi. Biaya kuliah dan praktik yang kian mahal mau tidak mau membuatnya kadang meminjam teman. Dari sekian banyak teman yang biasa dipinjam uang, aku adalah salah satunya. Suatu malam, sekitar pukul 22:00 ada sebuah SMS masuk ke inbox HP. Pertanyaan tentang kabar muncul di awal yang disambung dengan keinginan meminjam uang untuk membayar biaya Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Sebuah SMS yang membuatku terharu. Dia mengatakan, sore tadi sudah pergi ke tempat pegadaian untuk menggadaikan laptop kesayangannya. Karena terlalu sore, pegadaian pun sudah tutup, padahal dia butuh uang itu untuk bayar besok. Tidak banyak, hanya Rp.250.000.

Aku merenung sejenak. Sebenarnya, saat itu aku pun sedang butuh untuk membeli sepatu yang memang sudah waktunya ganti. Apalagi, belum lama ini aku baru kehilangan uang dan harta benda dalam jumlah banyak untuk ukuran mahasiswa. Ada laptop, dua buah HP, dan uang jatah sebulan yang baru saja dijarah orang di kamar kos. Total sekitar sepuluh juta raib dalam peristiwa itu. Hati kecil tidak bisa membohongi kalau sepatu itu masih bisa ditunda, meski mungkin agak malu kalau masih memakainya. Pergolakan pun terjadi. Setelah bertanya dalam hati, “Apa tega melihat temanmu mengulang mata kuliah KKL tahun depan hanya karena kamu mau pakai sepatu baru?” Aku pun memutuskan meminjamkan uang itu padanya. Biarlah dengan sepatu yang sudah mulai usang dan sobek ini asal teman tidak terhambat kuliahnya.

Waktu meminjamkan uang, aku paham bahwa tidak ada jaminan waktu kapan uang akan dikembalikan. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, atau tahun depan. Uang Rp.100.000 yang dipinjam beberapa bulan yang lalu saja belum dikembalikan. Jika ditambah dengan ini berarti ada Rp.350.000 yang dipinjam. Tidak apalah.

Aku sadar tidak bisa hidup sendiri. Mungkin saat itu aku mempunyai uang lebih, tapi siapa tahu suatu saat gantian aku yang tidak punya uang. Aku hanya berharap, suatu saat kemudahan akan menyertai jika aku memudahkan urusan orang lain. Dan Alhamdulillah, sejauh ini segala urusanku lancar-lancar saja.

No comments:

Post a Comment