Kisah ini terjadi sekitar
tahun 2012 yang lalu saat aku masih kuliah semester enam. Kata orang, mahasiswa
adalah pengangguran yang dibayar. Tidak perlu bekerja, uang kiriman datang tiap
bulan. Tidak sepenuhnya salah memang karena kebanyakan mahasiswa memang
dituntut untuk fokus belajar sehingga orangtua biasanya tidak sungkan mengirim
uang berlebih. Namun kita tidak bisa menutup mata pada segelintir mahasiswa
yang keluar dari zona nyaman bernama “pengangguran tidak kelihatan” dengan menyambi
bekerja. Diantara mereka memang ada yang memilih bekerja karena alasan ingin
mandiri meski orangtua masih sanggup membiayai. Namun ada pula yang sambil
bekerja karena tuntutan, saat biaya bulanan dari orangtua tidak mencukupi.
Aku
mungkin salah satu dari kelompok mahasiswa yang pertama, bekerja karena alasan
ingin mandiri. Semasa kuliah, uang bulananku memang tidak pernah telat. Selalu
ada saja uang di dompet atau di ATM. Saat teman-teman pulang di akhir pekan
karena uang habis, aku masih bisa membeli banyak barang, meski sebenarnya aku
tidak suka jajan.
Hal
ini juga dialami salah satu teman seangkatan, meski dengan alasan berbeda. Uang
bulanan yang tidak mencukupi menuntutnya memutar otak agar perut terus terisi.
Biaya kuliah dan praktik yang kian mahal mau tidak mau membuatnya kadang
meminjam teman. Dari sekian banyak teman yang biasa dipinjam uang, aku adalah
salah satunya. Suatu malam, sekitar pukul 22:00 ada sebuah SMS masuk ke inbox
HP. Pertanyaan tentang kabar muncul di awal yang disambung dengan keinginan
meminjam uang untuk membayar biaya Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Sebuah SMS yang
membuatku terharu. Dia mengatakan, sore tadi sudah pergi ke tempat pegadaian
untuk menggadaikan laptop kesayangannya. Karena terlalu sore, pegadaian pun
sudah tutup, padahal dia butuh uang itu untuk bayar besok. Tidak banyak, hanya
Rp.250.000.
Aku
merenung sejenak. Sebenarnya, saat itu aku pun sedang butuh untuk membeli
sepatu yang memang sudah waktunya ganti. Apalagi, belum lama ini aku baru
kehilangan uang dan harta benda dalam jumlah banyak untuk ukuran mahasiswa. Ada
laptop, dua buah HP, dan uang jatah sebulan yang baru saja dijarah orang di
kamar kos. Total sekitar sepuluh juta raib dalam peristiwa itu. Hati kecil
tidak bisa membohongi kalau sepatu itu masih bisa ditunda, meski mungkin agak
malu kalau masih memakainya. Pergolakan pun terjadi. Setelah bertanya dalam
hati, “Apa tega melihat temanmu mengulang mata kuliah KKL tahun depan hanya
karena kamu mau pakai sepatu baru?” Aku pun memutuskan meminjamkan uang itu
padanya. Biarlah dengan sepatu yang sudah mulai usang dan sobek ini asal teman
tidak terhambat kuliahnya.
Waktu meminjamkan uang, aku paham bahwa tidak ada jaminan waktu kapan uang akan dikembalikan. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, atau tahun depan. Uang Rp.100.000 yang dipinjam beberapa bulan yang lalu saja belum dikembalikan. Jika ditambah dengan ini berarti ada Rp.350.000 yang dipinjam. Tidak apalah.
Aku
sadar tidak bisa hidup sendiri. Mungkin saat itu aku mempunyai uang lebih, tapi
siapa tahu suatu saat gantian aku yang tidak punya uang. Aku hanya berharap,
suatu saat kemudahan akan menyertai jika aku memudahkan urusan orang lain. Dan
Alhamdulillah, sejauh ini segala urusanku lancar-lancar saja.
No comments:
Post a Comment