Bhinneka Tunggal Ika. Itulah yang kubaca di buku-buku pelajaranku sejak dulu. Artinya?
Arti tertulisnya adalah berbeda-beda tapi tetap satu. Arti dalam kehidupan
nyata? Aku tidak tahu – paling tidak sampai aku lulus SMA.
Bagaimana
orang mengharapkanku untuk mengetahui apa itu perbedaan, ketika yang kulihat
sejak aku lahir hingga aku berseragam putih abu-abu hanyalah orang-orang berkulit
putih dan bermata sipit? Aku bahkan tak tahu kalau “Cik” dan “Koh” adalah
sapaan orang Cina! Aku kira itu hanyalah bentuk lain dari “Mbak” dan “Mas”.
Yah, segagal inilah aku sebagai seorang keturunan Cina. Tunggu, aku
menuliskannya dengan terlalu rasis. Tapi bagaimana cara menulis tentang
menghargai perbedaan tanpa menuliskan fakta tentang perbedaan itu sendiri –
yang dianggap rasis?
Tujuh
tahun lalu, saat duniaku – bisa dibilang – berubah. Atau mungkin lebih tepatnya
– saat di mana akhirnya mataku melihat apa dunia itu sebenarnya. Saat aku
dituntut untuk hidup di Yogyakarta untuk meraih gelar sarjanaku. Kota
mahasiswa. Apa yang kuharapkan darinya? Pemuda-pemudi dari seluruh penjuru
Indonesia tentu saja berkumpul di kota itu. Aku bertemu teman-teman dari segala
kombinasi suku, agama, dan ras.
Itu
adalah sebuah langkah bagiku – yang aku sangat bahagia karena telah
mengambilnya. Itulah yang pertama bagiku untuk berhubungan dengan orang-orang
dengan variasi SARA yang tinggi. Dan serasa seperti surga bagiku. Masa terbaik
dalam hidupku.
Hari-hari
di mana aku berjalan ke kampus dan menjumpai segerombolan mahasiswa berkumpul
dan bercanda – seorang perempuan Cina-Papua dan seorang lagi berhijab, beserta
para laki-laki Batak, Cina, dan Jawa. Lalu ketika aku menyusuri lorong kampus,
aku akan melihat sepasang muda-mudi berbeda warna kulit yang sedang
bergandengan tangan – tidak peduli dengan apa yang orang katakan tentang mereka. Dan sesampainya aku di depan kelas,
seseorang akan menyambutku dengan “Cik!” – meskipun secara perhitungan mereka
masih lebih tua daripada aku. Namun masih banyak juga orang-orang di luar sana yang
merasa hal seperti ini tidak seharusnya terjadi dan mereka tetap sibuk
membangun tembok-tembok pemisah antar golongan.
Aku
pernah membaca bahwa “manusia cenderung tertarik dengan manusia lain yang sama
dengannya, yang merupakan cerminan dari dirinya sendiri”. Inilah mengapa wanita
lebih banyak berteman dengan wanita, dan mengapa orang-orang lebih memilih
untuk berteman dengan orang lain yang seagama atau bahkan yang seusia.
Tapi
bukankah begitu pula dengan perbedaan? Bukankah magnet yang berbeda kutub akan
saling tarik-menarik? Dan pelangi indah karena ada 7 warna berbeda yang
menyusunnya, bukan 7 warna yang sama. Apakah salah jika aku merasa lebih cocok
berteman dengan orang-orang yang berbeda denganku? Tidak ada yang suatu golongan
yang lebih tinggi dari golongan lainnya.
“Benci sama seperti cinta. Kamu tidak bisa
memaksakannya, kamu tidak bisa melawannya. Kamu hanya harus menyambutnya dan
menerimanya,” - kutipan dari serial TV favoritku.
Begitu
pula dengan perbedaan.
Aku
selalu berpikir bahwa larangan konten yang berbau SARA adalah omong kosong. Menyembunyikan
adanya perbedaan bukanlah cara efektif membentuk rasa kesetaraan di masyarakat.
Mengakui dan menerima perbedaanlah yang akan dengan sendirinya mengajarkan masyarakat
bahwa tak ada golongan yang lebih superior. Sampai di saat ketika seorang keturunan
Cina dipanggil “Cina” dan dia tidak merasa tersinggung, sampai di saat itulah
kita akan hidup merangkul perbedaan yang ada, bukan melawannya.
"Sampai di saat ketika seorang keturunan Cina dipanggil “Cina” dan dia tidak merasa tersinggung, sampai di saat itulah kita akan hidup merangkul perbedaan yang ada, bukan melawannya."
ReplyDeleteSemoga lekas terwujud.