Sunday, May 31, 2015

(26) Vinsensia Lina : Perbedaan Sama Seperti Cinta

Bhinneka Tunggal Ika. Itulah yang kubaca di buku-buku pelajaranku sejak dulu. Artinya? Arti tertulisnya adalah berbeda-beda tapi tetap satu. Arti dalam kehidupan nyata? Aku tidak tahu – paling tidak sampai aku lulus SMA.

Bagaimana orang mengharapkanku untuk mengetahui apa itu perbedaan, ketika yang kulihat sejak aku lahir hingga aku berseragam putih abu-abu hanyalah orang-orang berkulit putih dan bermata sipit? Aku bahkan tak tahu kalau “Cik” dan “Koh” adalah sapaan orang Cina! Aku kira itu hanyalah bentuk lain dari “Mbak” dan “Mas”. Yah, segagal inilah aku sebagai seorang keturunan Cina. Tunggu, aku menuliskannya dengan terlalu rasis. Tapi bagaimana cara menulis tentang menghargai perbedaan tanpa menuliskan fakta tentang perbedaan itu sendiri – yang dianggap rasis?



Tujuh tahun lalu, saat duniaku – bisa dibilang – berubah. Atau mungkin lebih tepatnya – saat di mana akhirnya mataku melihat apa dunia itu sebenarnya. Saat aku dituntut untuk hidup di Yogyakarta untuk meraih gelar sarjanaku. Kota mahasiswa. Apa yang kuharapkan darinya? Pemuda-pemudi dari seluruh penjuru Indonesia tentu saja berkumpul di kota itu. Aku bertemu teman-teman dari segala kombinasi suku, agama, dan ras.

Itu adalah sebuah langkah bagiku – yang aku sangat bahagia karena telah mengambilnya. Itulah yang pertama bagiku untuk berhubungan dengan orang-orang dengan variasi SARA yang tinggi. Dan serasa seperti surga bagiku. Masa terbaik dalam hidupku.

Hari-hari di mana aku berjalan ke kampus dan menjumpai segerombolan mahasiswa berkumpul dan bercanda – seorang perempuan Cina-Papua dan seorang lagi berhijab, beserta para laki-laki Batak, Cina, dan Jawa. Lalu ketika aku menyusuri lorong kampus, aku akan melihat sepasang muda-mudi berbeda warna kulit yang sedang bergandengan tangan – tidak peduli dengan apa yang orang katakan tentang  mereka. Dan sesampainya aku di depan kelas, seseorang akan menyambutku dengan “Cik!” – meskipun secara perhitungan mereka masih lebih tua daripada aku. Namun masih banyak juga orang-orang di luar sana yang merasa hal seperti ini tidak seharusnya terjadi dan mereka tetap sibuk membangun tembok-tembok pemisah antar golongan.

Aku pernah membaca bahwa “manusia cenderung tertarik dengan manusia lain yang sama dengannya, yang merupakan cerminan dari dirinya sendiri”. Inilah mengapa wanita lebih banyak berteman dengan wanita, dan mengapa orang-orang lebih memilih untuk berteman dengan orang lain yang seagama atau bahkan yang seusia.

Tapi bukankah begitu pula dengan perbedaan? Bukankah magnet yang berbeda kutub akan saling tarik-menarik? Dan pelangi indah karena ada 7 warna berbeda yang menyusunnya, bukan 7 warna yang sama. Apakah salah jika aku merasa lebih cocok berteman dengan orang-orang yang berbeda denganku? Tidak ada yang suatu golongan yang lebih tinggi dari golongan lainnya.

                “Benci sama seperti cinta. Kamu tidak bisa memaksakannya, kamu tidak bisa melawannya. Kamu hanya harus menyambutnya dan menerimanya,” - kutipan dari serial TV favoritku.

Begitu pula dengan perbedaan.


Aku selalu berpikir bahwa larangan konten yang berbau SARA adalah omong kosong. Menyembunyikan adanya perbedaan bukanlah cara efektif membentuk rasa kesetaraan di masyarakat. Mengakui dan menerima perbedaanlah yang akan dengan sendirinya mengajarkan masyarakat bahwa tak ada golongan yang lebih superior. Sampai di saat ketika seorang keturunan Cina dipanggil “Cina” dan dia tidak merasa tersinggung, sampai di saat itulah kita akan hidup merangkul perbedaan yang ada, bukan melawannya.

1 comment:

  1. "Sampai di saat ketika seorang keturunan Cina dipanggil “Cina” dan dia tidak merasa tersinggung, sampai di saat itulah kita akan hidup merangkul perbedaan yang ada, bukan melawannya."
    Semoga lekas terwujud.

    ReplyDelete