Sunday, May 31, 2015

(20) Chintia Piranawati : Kesamaan Dan Persatuan

Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam konsistensinya memberikan banyak makna yang terkandung dalam prinsi-prinsip dasarnya. Prinsip-prinsip dasar itu sendiri terdiri dari: prinsip kemanusiaan (humanity), prinsip kesamaan (impartiality), prinsip kenetralan (neutrality), prinsip kemandirian (independence), prinsip kesukarelaan (voluntary service), prinsip kesatuan (unity), dan prinsip kesemestaan (university). Setiap prinsip mengajarkan hidup saling membantu, gotong royong dan tolong menolong sesama manusia. Tak ada yang membedakan setiap personalnya, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni bumi. 

Bagi saya sendiri prinsip kesamaan dan prinsip kesatuan sangat berkesan dalam hidup saya. Sudah banyak perpecahan yang saya lihat hanya karena perbedaan suku, agama, ataupun ras. Saya pikir keberagaman seharusnya membuat kita merasa lebih kaya dan tentu saja menjadi kelebihan sendiri sebagai warga negara Indonesia. Keberagaman budaya, bahasa, dan tradisi pada setiap jengkal tanah Indonesia dapat kita manfaatkan dengan baik jika setiap warga negara Indonesia sadar akan kesamaan hak asasi manusia yang menjadikan rasa persatuan tumbuh dalam hati pribadi masing-masing.


Saya sendiri terlahir dari keluarga militer. Ayah saya seorang prajurit TNI AD. karena itu, bisa dibilang saya termasuk salah satu anak kolong. Anak kolong adalah sebutan untuk anak-anak prajurit TNI seperti saya. Dengan kondisi seperti itu, saya sudah terbiasa dengan kedisiplinan, keteraturan, dan keberagaman. 

Selain itu, saya dituntut untuk belajar mandiri sejak kecil. Bahkan saat Ibu saya mengandung saya, ayah sedang melaksanakan tugas perdamaian dari PBB. Beliau termasuk salah satu prajurit kontingan Garuda XII Indonesia untuk misi perdamaian di Kamboja. Sejak kecil saya terbiasa ditinggal ayah untuk tugas negara ataupun tugas untuk pindah teritorial. Untuk tugas negara misalnya, ayah pernah ditugaskan di daerah konflik Timor Timur, Ambon Maluku, dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam satu kali tugas akan menghabiskan waktu enam bulan sampai satu tahun lebih. Dalam masa tugas, ayah hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga lewat telepon tanpa bertemu sama sekali. Apalagi saya adalah anak pertama dalam keluarga saya, sudah sepatutnya saya harus lebih kuat dan bisa diandalkan untuk membantu ibu saya.


Pada setiap tugasnya, ayah bertemu dengan beragam suku, ras, dan agama yang berbeda. Karakter yang berbeda pada setiap sukunya, bahasa yang berbeda pada setiap wilayahnya kadang membuat perselisihan paham antar penduduknya. Seringnya terjadi perang antar suku di daerah rawan konflik biasanya juga disebabkan oleh masalah kecil yang dibesar-besarkan. Dalam situasi seperti ini saya membayangkan betapa pentingya sebuah pemersatu yang bisa diterapkan pada tiap kelompok suku tersebut. Dalam cerita ayah tersebut, terkadang diadakan musyawarah untuk menghindari terjadinya perang antar suku. 

Dalam musyawarah tersebut, biasanya duduk permasalahan yang terjadi karena perbedaan cara tangkap. Sebagai penengah, ayah biasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu bahasa yang sama-sama dipahami oleh dua pihak yang terjadi perselisihan. Dan setelah dijelaskan panjang lebar pada setiap kubunya, akhirnya masalahpun selesai tanpa terjadi pertumpahan darah. Dari kondisi yang ayah ceritakan ini, bahasa merupakan satu-satunya penghubung karena sama-sama dimengerti oleh dua pihak tersebut. Bahasa merupakan alat pemersatu yang mungkin tidak kita sadari bukti nyatanya, namun sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan. Persatuan dapat dilaksanakan karena adanya kesamaan persepsi pada setiapa individunya. Perbedaan bukan halangan untuk bersatu, perbedaanlah yang menguatkan persatuan.

No comments:

Post a Comment