Sewaktu aku
duduk di bangku SD, aku sering mendengar peribahasa Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Namanya juga anak SD, mendengar
peribahasa seperti itu masih acuh tak acuh. Pikirannya masih bermain. Mengerjakan
PR saja masih berdasarkan perintah ibu. Sempat aku mengerti arti kata
peribahasa itu, namun hanya aku ingat saat mau ulangan Bahasa Indonesia saja,
setelah itu menguap entah kemana.
Seiring
berjalannya waktu, aku duduk di bangku SMP dan baru mengerti apa arti
peribahasa Berat sama dipikul, ringan
sama dijinjing. Peribahasa itu mengandung arti “sama-sama menderita
dan sama-sama bahagia”. Atau bahasa kasarnya; susah bareng-bareng, seneng
bareng-bareng. Peribahasa itu baru aku rasakan ketika melakukan kegiatan OSIS
membantu menyortir barang untuk para korban banjir. Ternyata aku baru tahu,
peribahasa ini satu prinsip dasar yaitu kemanusiaan. Bagiku, prinsip
kemanusiaan adalah prinsip yang tidak akan lepas dari kehidupan bermasyarakat selama
masyarakat itu masih menerapkan sistem gotong royong di lingkungannya. Dan aku,
kalau ngomongin soal kemanusiaan pasti tidak akan ada habisnya.
Ketika itu, musim hujan tiba. Sekitar bulan Januari
hingga Februari. Hujan memang sangat deras dan langit pun gelap. Ditambah petir
menyambar dan angin berhembus sangat kencang. Kalau kalian mau tahu, lapangan
di sekolahku juga ikut banjir. Pukul 06.30, bel sekolah sudah berbunyi dan yang
siap belajar hanya setengah dari jumlah siswa. Yang lainnya kemana? Masih belum
diketahui kabarnya. Alhasil, kami belajar dengan murid seadanya.
Keesokan harinya masih gerimis ditambah langit yang
gelap. Bermunculan kabar banyak siswa tidak masuk karena rumah kebanjiran dan
harus mengungsi. Bahkan ada juga guru yang tertimpa musibah kebanjiran. Yang
tidak kebanjiran hanya bisa berdoa dan berharap supaya hujan berhenti dan
airnya cepat surut.
Bulan ini Jakarta harus menghadapi musim hujan
dengan tabah dan sabar. Di Televisi mengabarkan banjirnya semakin parah
tingginya hingga sepinggang orang dewasa.
Mendengar musibah yang menyayat hati, pihak sekolah
berinisiatif ingin menyumbang makanan, barang, dan obat-obatan untuk para
pengungsi kebanjiran. Alhasil, pembina OSIS menyuruh kami –anggota OSIS- untuk
mengumpulkan sumbangan berupa baju, makanan, dan obat-obatan. Barang sudah
terkumpul dan menggunung di ruang OSIS, tinggal disortir. Kami semua menyortir
antara barang berupa sandang dan pangan. Kegiatan menyortir barang bukanlah hal
yang mudah. Kami harus menyortir antara pangan berupa mie instan dan bukan,
antara baju dan celana, dan masih banyak lagi. Kegiatan ini memakan waktu tiga
hari secara berturut-turut.
Tiga hari telah berlalu, keringat bertumpahan
seperti sehabis berolahraga ekstrim. Barang-barang sudah disumbangkan. Dari
kegiatan ini kami sudah berkorban banyak. Mulai dari pelajaran, tenaga, dan
waktu. Tapi kami tidak mengeluh, kami justru senang bisa membantu para korban
banjir. Disini
kita bersusah payah untuk menyortir barang, disana mereka bersusah payah untuk
menyelamatkan jiwa dan harta benda. Disini kita senang karena bisa membantu
mereka, disana mereka juga senang karena mendapat bantuan. Tidak ada bedanya,
kami semua sama-sama berjuang.
Berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing. Walaupun kalimatnya sedikit tapi berjuta maknanya. Ingat,
bantulah mereka yang sedang kesusahan dengan lapang dada dan ikhlas. Membantu
dimana saja, kapan saja, sama siapa saja. Karena bagaimanapun juga, kita adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan.
No comments:
Post a Comment