Tuesday, June 16, 2015

(98) Rini Widayati : Semangat Kebersamaan di Negeri Sebrang

Kebersamaan ini terbangun dengan secara alamiah. Awalnya karena kami terbentuk dalam satu kelompok keberangkatan ke tanah suci. Sebelum ke sana beberapa kali kami telah dipertemukan dalam acara pembekalan. Tetapi tidak terlalu intensif sehingga hanya saling kenal wajah. Akan tetapi kebersamaan selama 40 hari di negeri orang telah membentuk koloni baru.
Aku masuk dalam kloter 15 dari Kepulauan Riau. Namanya rombongan haji, pasti campur baur yang muda sekali, yang dewasa, yang tua dan yang renta sekali karena berumur di atas delapan tahun. Ada ibu Dalmatasyiah dalam rombonganku. Sebenarnya beliau akan berangkat bersama anaknya. Tetapi Allah berkehendak lain, anak dan suaminya telah dipanggil terlebih dahulu sebelum berangkat ke tanah suci. Beliau perlu seseorang yang bisa mendampinginya selama di tanah suci karena kondisi fisiknya yang sudah agak lemah. Tidak kuat kalau berjalan jauh. Dengan rasa kekeluargaan, kelompok kami mengumpulkan uang untuk membeli kursi. Secara bergantian kami mendorong beliau saat harus thawaf mengelilingi ka’bah. Begitupun ketika naik turun bis, membeli makanan, dan mengurus kesehatan beliau.

Ibu-ibu rombongan kami lebih banyak memperhatikan ibu Dalmatasyiah dan bapak-bapaknya kebagian mengurus satu orang jemaah lagi yaitu seorang bapak muda (karena belum genap 40 tahun). Sama seperti ibu Dalmatasyiah, kondisi fisiknya juga tidak memungkinkan beraktivitas mandiri di tengah jutaan jubelan manusia. Beliau harus cuci darah dua kali seminggu dan tidak ada satu keluarga pun yang mendampinginya. Jadilah rombongan kami keluarga barunya. Secara bergantian, bapak-bapak mengantarkan beliau cuci darah di rumah sakit yang telah ditunjuk untuk mengurusi kesehatan jama’ah haji.
Tetapi tanpa kuasa kami cegah, ada kejadian tragis yang menimpa bapak Sigit ini. Ceritanya, setelah bermalam di Mina hari pertama. Paginya setelah melempar jumroh kami berjalan kaki ke hotel dan sorenya akan kembali lagi ke Mina. Tempat melempar jumroh letaknya agak dekat ke hotel. Berjalan kaki sekitar empat puluh lima menit. Tetapi kalau kembali ke perkemahan lebih jauh sekitar satu setengah jam. Jadi diputuskan ke hotel dan sebelum matahari tenggelam kembali ke perkemahan.
Berhubung melempar jumroh bisa diwakilkan, pak ustadz menyarankan agar pak Sigit mewakilkan ke kami. Tetapi beliau tidak mau dan ingin melempar sendiri. Mungkin dipikirnya sekali seumur hidup, kapan lagi bisa melihat sumur tempat pelemparan jumroh. Beliau didorong bergantian dari perkemahan ke tempat melempar jumroh. Usai berjalan jauh dan melempar jumroh, kami sudah lelah. Maklum jarang berjalan jauh, sehingga ada beberapa usulan agar pak Sigit memakai jasa dorong yang banyak ditawarkan orang sana. Dengan kesepakatan agar menunggu kami di ujung terminal dekat hotel. Tetapi nahas, kami terlampat ketemu beliau. Sebuah mobil telah menabraknya ketika  menunggu kami di terminal. Tidak jelas mobil jenis apa yang menabraknya. Kami hanya mendengar kabar dari orang-orang sekitar kejadian kalau pak Sigit sudah dibawa ke rumah sakit.
Kejelasan rumah sakit tidak kami terima seketika. Dokter dan perawat sudah kebingungan mencari informasi. Tetapi alhamdulillah, esoknya setelah membaca Al Fatihah di depan ka’bah kami mendengar kabar pak Sigit ada di salah satu rumah sakit. Bapak-bapak bergantian menjenguknya. Akibat musibah ini, beliau menyelesaikan rukun-rukun hajinya dengan membayar dam. Badannya tidak memungkinkan untuk bergerak karena patah tulang kaki dan punggung. Kami khawatir kalau-kalau sampai musim haji berakhir beliau belum bisa kembali ke tanah air.

Syukurlah, meskipun harus dalam keadaan terbaring pak Sigit akhirnya bisa kembali bersama-sama kami ke tanah air. Alhamdulillah, tidak ada satu pun rombongan yang tertinggal di sana. 

No comments:

Post a Comment