Kebersamaan ini terbangun dengan secara
alamiah. Awalnya karena kami terbentuk dalam satu kelompok keberangkatan ke
tanah suci. Sebelum ke sana beberapa kali kami telah dipertemukan dalam acara pembekalan.
Tetapi tidak terlalu intensif sehingga hanya saling kenal wajah. Akan tetapi
kebersamaan selama 40 hari di negeri orang telah membentuk koloni baru.
Aku masuk dalam kloter 15 dari Kepulauan
Riau. Namanya rombongan haji, pasti campur baur yang muda sekali, yang dewasa,
yang tua dan yang renta sekali karena berumur di atas delapan tahun. Ada ibu
Dalmatasyiah dalam rombonganku. Sebenarnya beliau akan berangkat bersama
anaknya. Tetapi Allah berkehendak lain, anak dan suaminya telah dipanggil terlebih
dahulu sebelum berangkat ke tanah suci. Beliau perlu seseorang yang bisa
mendampinginya selama di tanah suci karena kondisi fisiknya yang sudah agak
lemah. Tidak kuat kalau berjalan jauh. Dengan rasa kekeluargaan, kelompok kami
mengumpulkan uang untuk membeli kursi. Secara bergantian kami mendorong beliau
saat harus thawaf mengelilingi ka’bah. Begitupun ketika naik turun bis, membeli
makanan, dan mengurus kesehatan beliau.
Ibu-ibu rombongan kami lebih banyak
memperhatikan ibu Dalmatasyiah dan bapak-bapaknya kebagian mengurus satu orang
jemaah lagi yaitu seorang bapak muda (karena belum genap 40 tahun). Sama
seperti ibu Dalmatasyiah, kondisi fisiknya juga tidak memungkinkan beraktivitas
mandiri di tengah jutaan jubelan manusia. Beliau harus cuci darah dua kali
seminggu dan tidak ada satu keluarga pun yang mendampinginya. Jadilah rombongan
kami keluarga barunya. Secara bergantian, bapak-bapak mengantarkan beliau cuci
darah di rumah sakit yang telah ditunjuk untuk mengurusi kesehatan jama’ah
haji.
Tetapi tanpa kuasa kami cegah, ada
kejadian tragis yang menimpa bapak Sigit ini. Ceritanya, setelah bermalam di
Mina hari pertama. Paginya setelah melempar jumroh kami berjalan kaki ke hotel
dan sorenya akan kembali lagi ke Mina. Tempat melempar jumroh letaknya agak
dekat ke hotel. Berjalan kaki sekitar empat puluh lima menit. Tetapi kalau
kembali ke perkemahan lebih jauh sekitar satu setengah jam. Jadi diputuskan ke
hotel dan sebelum matahari tenggelam kembali ke perkemahan.
Berhubung melempar jumroh bisa diwakilkan,
pak ustadz menyarankan agar pak Sigit mewakilkan ke kami. Tetapi beliau tidak
mau dan ingin melempar sendiri. Mungkin dipikirnya sekali seumur hidup, kapan
lagi bisa melihat sumur tempat pelemparan jumroh. Beliau didorong bergantian
dari perkemahan ke tempat melempar jumroh. Usai berjalan jauh dan melempar
jumroh, kami sudah lelah. Maklum jarang berjalan jauh, sehingga ada beberapa
usulan agar pak Sigit memakai jasa dorong yang banyak ditawarkan orang sana.
Dengan kesepakatan agar menunggu kami di ujung terminal dekat hotel. Tetapi
nahas, kami terlampat ketemu beliau. Sebuah mobil telah menabraknya ketika menunggu kami di terminal. Tidak jelas mobil
jenis apa yang menabraknya. Kami hanya mendengar kabar dari orang-orang sekitar
kejadian kalau pak Sigit sudah dibawa ke rumah sakit.
Kejelasan rumah sakit tidak kami terima
seketika. Dokter dan perawat sudah kebingungan mencari informasi. Tetapi
alhamdulillah, esoknya setelah membaca Al Fatihah di depan ka’bah kami
mendengar kabar pak Sigit ada di salah satu rumah sakit. Bapak-bapak bergantian
menjenguknya. Akibat musibah ini, beliau menyelesaikan rukun-rukun hajinya
dengan membayar dam. Badannya tidak memungkinkan untuk bergerak karena patah
tulang kaki dan punggung. Kami khawatir kalau-kalau sampai musim haji berakhir
beliau belum bisa kembali ke tanah air.
Syukurlah, meskipun harus dalam keadaan
terbaring pak Sigit akhirnya bisa kembali bersama-sama kami ke tanah air.
Alhamdulillah, tidak ada satu pun rombongan yang tertinggal di sana.
No comments:
Post a Comment