Tuesday, June 16, 2015

(84) Aprilia Abriani : Dunia Tanpa Perbedaan

Berteman dengan siapa saja sudah saya praktikan sejak kecil. Desa saya dihuni masyarakat yang memeluk empat agama yaitu Kristen, Islam, Katolik dan Hindu. Kristen dan Islam merupakan agama mayoritas. Dalam menjalani kehidupan bertetangga, kami tidak pernah membeda-bedakan agama. Jika ada yang mengalami kesulitan, tangan-tangan tetangga akan membantu sesuai kemampuannya tanpa memikirkan apakah ia seagama dengan kita atau tidak.
            Jika kalian mengunjungi desa saya, tempat ibadah seperti masjid, pura dan gereja yang berbaris rapi akan menyambut kalian. Begitu menginjakkan kaki di desa senyuman ramah penduduk akan menemani aktivitas kalian. Gotong royong juga masih dilakoni penduduk desa. Semua penduduk dengan sukarela mengalokasikan waktunya untuk bekerja sama membangun jalan, tempat ibadah atau kegiatan lainnya. Semuanya dilakukan tanpa memandang agama teman kerja.

            Rumah-rumah penduduk juga tidak terpusat berdasarkan agama. Tetangga depan rumah saya beragama Kristen sedangkan tetangga belakang rumah beragama Katolik. Jika ada perayaan agama semua penduduk desa akan diundang untuk merayakan. Saat Idul Adha, daging kurban tidak hanya dibagikan ke mereka yang beragama Islam namun untuk semua penduduk desa meskipun hewan kurban dibeli oleh kaum muslim yang mampu. Sebaliknya saat natal, pihak gereja mengundang semua penduduk untuk menyaksikan drama yang ditampilkan anak-anak gereja.
            Menginjak dewasa, saya melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sebagai salah satu sekolah kedinasan yang populer di negeri ini, mahasiswa STAN berasal dari berbagai pelosok Indonesia yang kebudayaannya tentu saja berbeda. Perbedaan bahasa tidak menghambat pertemanan satu sama lain karena negeri ini mempunyai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bila ada mahasiswa yang berdialog dengan bahasa daerah kami juga mempersilahkan. Kami anggap itu sebagai pengenalan bahasa daerah lain. Teman saya yang berasal dari Padang bahkan sering meminta saya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Teman-teman yang berdialek ngapak juga sering diminta teman-temannya untuk berbicara ngapak.
             Teman sebangku saya adalah orang Bali. Dia sering menceritakan kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Dari dia saya tahu kalau umat Hindu mempunyai banyak hari raya selain Hari Raya Nyepi. Setahun sekali STAN mengadakan festival budaya nusantara (fesbudnus). Diajang tersebut mahasiswa yang tergabung dalam organisasi daerah (organda) memamerkan budaya daerah masing-masing seperti kesenian, pakaian dan makanan khas. Lewat fesbudnus kami tidak merasa berbeda. Kami juga semakin sadar betapa kayanya budaya yang dimiliki negeri ini. Hal ini meningkatkan rasa bangga kami pada Ibu Pertiwi.

            Bagi saya, berteman dengan orang yang berbeda agama, suku, dan ras itu merupakan hal yang menyenangkan. Pengetahuan budaya saya semakin bertambah. Saya semakin banyak tahu tentang negeri ini. Beda asal beda juga sikap (sopan santunnya), namun saya memakluminya. Walaupun terkadang mereka melakukan hal yang menurut saya tidak sopan, namun hal ini tidak menghilangkan kenyamanan saya untuk terus berteman dengan mereka yang berlainan agama, suku, dan ras. Perbedaan dalam hal budaya menurut saya tidak ada. Keberagaman agaknya ungkapan yang lebih tepat. Keberagaman juga dapat diartikan kekayaan, kata yang membuat saya bangga menjadi anak Indonesia.

No comments:

Post a Comment