Berteman
dengan siapa saja sudah saya praktikan sejak kecil. Desa saya dihuni masyarakat
yang memeluk empat agama yaitu Kristen, Islam, Katolik dan Hindu. Kristen dan
Islam merupakan agama mayoritas. Dalam menjalani kehidupan bertetangga, kami
tidak pernah membeda-bedakan agama. Jika ada yang mengalami kesulitan,
tangan-tangan tetangga akan membantu sesuai kemampuannya tanpa memikirkan
apakah ia seagama dengan kita atau tidak.
Jika kalian mengunjungi desa saya,
tempat ibadah seperti masjid, pura dan gereja yang berbaris rapi akan menyambut
kalian. Begitu menginjakkan kaki di desa senyuman ramah penduduk akan menemani
aktivitas kalian. Gotong royong juga masih dilakoni penduduk desa. Semua
penduduk dengan sukarela mengalokasikan waktunya untuk bekerja sama membangun
jalan, tempat ibadah atau kegiatan lainnya. Semuanya dilakukan tanpa memandang
agama teman kerja.
Rumah-rumah penduduk juga tidak
terpusat berdasarkan agama. Tetangga depan rumah saya beragama Kristen
sedangkan tetangga belakang rumah beragama Katolik. Jika ada perayaan agama
semua penduduk desa akan diundang untuk merayakan. Saat Idul Adha, daging
kurban tidak hanya dibagikan ke mereka yang beragama Islam namun untuk semua
penduduk desa meskipun hewan kurban dibeli oleh kaum muslim yang mampu. Sebaliknya
saat natal, pihak gereja mengundang semua penduduk untuk menyaksikan drama yang
ditampilkan anak-anak gereja.
Menginjak dewasa, saya melanjutkan
studi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sebagai salah satu sekolah
kedinasan yang populer di negeri ini, mahasiswa STAN berasal dari berbagai pelosok
Indonesia yang kebudayaannya tentu saja berbeda. Perbedaan bahasa tidak
menghambat pertemanan satu sama lain karena negeri ini mempunyai bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bila ada mahasiswa yang berdialog dengan
bahasa daerah kami juga mempersilahkan. Kami anggap itu sebagai pengenalan
bahasa daerah lain. Teman saya yang berasal dari Padang bahkan sering meminta
saya untuk berbicara dalam bahasa Jawa. Teman-teman yang berdialek ngapak juga
sering diminta teman-temannya untuk berbicara ngapak.
Teman sebangku saya adalah orang Bali. Dia
sering menceritakan kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu.
Dari dia saya tahu kalau umat Hindu mempunyai banyak hari raya selain Hari Raya
Nyepi. Setahun sekali STAN mengadakan festival budaya nusantara (fesbudnus).
Diajang tersebut mahasiswa yang tergabung dalam organisasi daerah (organda)
memamerkan budaya daerah masing-masing seperti kesenian, pakaian dan makanan
khas. Lewat fesbudnus kami tidak merasa berbeda. Kami juga semakin sadar betapa
kayanya budaya yang dimiliki negeri ini. Hal ini meningkatkan rasa bangga kami
pada Ibu Pertiwi.
Bagi saya, berteman dengan orang
yang berbeda agama, suku, dan ras itu merupakan hal yang menyenangkan. Pengetahuan
budaya saya semakin bertambah. Saya semakin banyak tahu tentang negeri ini.
Beda asal beda juga sikap (sopan santunnya), namun saya memakluminya. Walaupun
terkadang mereka melakukan hal yang menurut saya tidak sopan, namun hal ini
tidak menghilangkan kenyamanan saya untuk terus berteman dengan mereka yang
berlainan agama, suku, dan ras. Perbedaan dalam hal budaya menurut saya tidak
ada. Keberagaman agaknya ungkapan yang lebih tepat. Keberagaman juga dapat
diartikan kekayaan, kata yang membuat saya bangga menjadi anak Indonesia.
No comments:
Post a Comment