Sudah diketahui, sacara umum manusia
hidup dalam dua ruang lingkup wilayah. Yang pertama, manusia sebagai individu,
yakni manusia sebagai makhluk yang terdiri dari satu kesatuan unsur dalam
dirinya tidak dapat dibagi, unsur tersebut adalah unsur jasmani dan rohani.
Yang kedua adalah manusia sebagai makhluk sosial, maksudnya manusia yang tidak
bisa lepas dari orang lain, membutuhkan bantuan sesama. Karena ada beberapa hal
yang tidak bisa dilakukan sendiri, yang membutuhkan bantuan orang lain.
Intinya, manusia sebagai makhluk yang berinteraksi dalam ruang lingkup wilayah
sosial. Di dalam wilayah manusia sebagai mankhluk sosial inilah, ada yang
namanya tolong menolong.
Berbicara mengenai tolong menolong,
secara hakikatnya tidak pandang bulu dalam melakukan hal tersebut. Siapapun
yang membutuhkan pertolongan harus kita bantu, selama kita bisa dan mampu
menolongnya mengapa tidak. Karena sewaktu-sewaktu, mungkin di lain hari kita
juga membutuhkan pertolongan orang lain dan tidak menutup kemungkinan, orang
yang telah kita tolong akan kembali menolong kita.
Namun, ada juga beberapa alasan lain
mengapa kita atau semua orang mau menolong. Beberapa diantaranya adalah karena
merasa kasihan, merasa seperti bagaimana jika dirinya berada pada posisi yang
sama, yang tentu pasti akan membutuhkan
pertolongan juga. Dan alasan lain yang menurut penulis cukup tidak mengenakan
adalah menolong karena ada unsur keuntungan, keinginan memperoleh keuntungan
dari orang ditolong.
Terlepas dari alasan tersebut, penulis
ingin berbagi cerita perihal bagaimana menolong bisa kita biasakan dalam diri
kita, sebagai makhluk sosial. Karena menolong itu merupakan sebuah keharusan.
Baik itu menolong sesama, menolong binatang atau tumbuhan yang sekiranya
menurut pandangan kita patut untuk ditolong.
Cerita berawal ketika penulis hendak
pulang dari kampus, sekitar jam 12 siang di saat kalor matahari begitu
menyengat dan serasa membakar tubuh. Ingin rasanya saat itu segera sampai di dalam
kos dan melepaskan dahaga yang sudah hampir setengah hari tidak minum. Dan,
saat sampai di gerbang komplek kos dan perlahan melangkah masuk ke dalam, penulis
terhenti sejenak, ada sesuatu yang menyita pandangan penulis.
Baju-baju berserakan di tanah,
sepertinya yang punya – tentangga kos – tidak melihat pakaian atau jemurannya
terbawa angin hingga jatuh. Sempat penulis berpikir, Apakah aku harus mengambil atau tidak? Lagian itu bukan pakaianku.
Aku melangkah beberapa langkah, ingin
acuh dan seolah tidak tahu apa-apa. Tetapi, seperti ada yang mengusik di dalam
benak, menyuruh penulis untuk memungut pakaian-pakaian itu. Meski bukan milikmu, ambil dan letakkan ke
tempat yang bersih. Tolong yang punya! Aku tersenyum dan melupakan sebentar
haus yang sudah lama tertahan. Dan, rasanya damai dan indah juga bisa menolong
meskipun itu hanya hal-hal kecil. Sejak saat itu penulis membiasakan menolong,
meski itu dimulai dari hal kecil.
Siapa yang tahu? Ternyata sikap kita
yang peduli dan menolong atas dasar kesukarelaan mendapatkan balasan yang sama,
bahkan lebih. Ketika pakaian penulis juga tergeletak di tanah oleh angin yang
bertiup kencang, tetangga kos penulis juga meletakkannya di tempat yang bersih
persis seperti yang penulis lakukan. Manfaat lainnya penulis dengan tetangga
yang semula tidak akrab, perlahan akrab dan bisa menjadi teman baik.
No comments:
Post a Comment