Life
Giving Spirit, kalimat
ini sangat indah, tetapi tidak indah didengar dan dilihat karena tata bahasa
Inggrisnya tidak benar. Ini adalah sebuah frase, dimana kehidupanmu itu justru
memberikan kehidupan untuk orang lain. Dengan adanya saya ataupun anda semua,
lahir untuk memberi harapan hidup.
Mengambil salah satu dari tujuh
prinsip ini, perkenalkan saya seorang mahasiswa tingkat akhir, Mia, teman akrab
memanggil saya dengan nama itu. Saya mempunyai satu cerita saat saya bersama
teman-teman mengalami yang namanya berbagi hidup dalam hal Kemanusiaan.
Beberapa bulan yang lalu, di
Yogyakarta, saya dan teman-teman merayakan hari
jadi kota Jogja yang jatuh pada tanggal 7 Oktober dengan acara
membagi-bagikan bungkusan makanan untuk dibagikan di berbagai daerah
Yogyakarta, seperti Ringroad Utara, Janti, Gejayan, Timoho, Terban, dan
lainnya.
Saat akan pulang dan membagikan nasi yang terakhir, tiba-tiba salah
seorang teman berteriak memanggil kami. Singkatnya, kami lihat muka seorang bapak
yang penuh luka darah. Itu disertai bau badannya yang tidak enak, tidak memakai
alas kaki, dan tidak membawa barang bawaaan apa-apa. Ketika ditanya ternyata
singkat cerita bapak ini amnesia, yang kami tau nama beliau adalah Bapak
Wakidi. Jam menunjukkan pukul 11 malam dan kami membawa bapak Wakidi ke Rumah
Sakit Negeri terdekat (waktu itu terjadi di dekat daerah Terban, Yogyakarta).
Singkat
cerita, para dokter di rumah sakit tersebut memberikan penanganan pertolongan
pertama bersama beberapa perawat. Dan sempat bertanya kepada kami tentang
asal-usul beliau. Kami hanya bisa menceritakan kejadiannya yang sebenarnya, dan
dari cerita kami membawa seorang tunawisma dan seorang yang amnesia ini ke
rumah sakit, tak helak ini telah menjadi buah bibir di rumah sakit tersebut. Akhirnya
pihak rumah sakit mulai menerima dan mengijinkan Bapak Wakidi untuk ditangani
terlebih dahulu sambil menjaga Bapak Wakidi bergiliran. Satu hal yang menjadi
beban kami, “duitmu enek piro?” uangmu berapa? Mengingat bapak Wakidi
dianjurkan dokter untuk melakukan CT Scan, test darah, penjahitan pada kepala,
dan perawatan penginap, kami tau ini membutuhkan biaya yang begitu besar untuk
ukuran anak kos sangat mahal.
Sempat hati kecil kami untuk berniat membatalkan,
tetapi kami tau belas kasihan yang menggerakkan dan menggetarkan hati para
dokter yang kebetulan sift malam waktu itu. Dan bahagianya, kami melihat Bapak
Wakidi sadar, sehat walaupun sedikit lupa ingatan, plus biaya rumah sakit
semuanya ditanggung para dokter yang ada. Tak perlu kami harus membayar sepeserpun,
mungkin hanya uang parkir. Dan setelah berjabat tangan
dengan dokter berterima kasih, justru dokter-dokter di rumah sakit tersebut
mengucapkan berterima kasih sekaligus terkagum. “Kok ada anak-anak kuliah yang
mau repot-repot kayak gini demi satu orang yang ndak kalian tahu?”. Itulah
kami, memang kami berbeda, tetapi setidaknya banyak dokter dan perawat di rumah
sakit itu, serta kamipun belajar tentang arti memberi hidup, sekalipun kita
tidak mengenal orang yang dimaksud.
Dan dari kehidupan yang agak
sedikit aneh ini, saya mempunyai kebiasaan aneh yaitu kadang setiap hari satu
sekali saya membeli satu buah bungkus nasi, dan saya membagikan nasi bungkus
itu kepada satu orang yang saya temui di jalan. Selalu, saya tak lupa. Dan
budaya Life Giving Spirit itu mulai
menjadi budaya dan gaya hidup saya tiap hari.
Selamat ulang tahun PMI!
No comments:
Post a Comment