Rumah-rumah
mewah, jalan-jalan yang lapang, dan mobil-mobil bagus yang terparkir di garasi seolah
mencibir kami yang berjalan melewatinya dengan berjalan kaki.
Ketika sampai
di ujung jalan buntu, aku melihat di sisi kirinya terhampar rumah-rumah tak
layak huni, rumah-rumah triplek yang karena goncangan sedikit saja mungkin bisa
runtuh. Namun, di sisi lainnya aku melihat pemandangan rumah-rumah mewah yang seolah
tidak tahu ada saudara dekatnya yang sudah tak layak lagi disebut rumah.
Sore itu, aku
dan teman-teman sengaja berkunjung ke “lapak” (kumpulan rumah-rumah triplek) tersebut
untuk melakukan kegiatan kemanusiaan sesuai arahan pembimbing kami. Saat itu,
kami sedang menjalani pelatihan kepemimpinan agar kami menjadi pemimpin-pemimpin
yang baik pada organisasi yang kami pimpin dan menjadi orang-orang baik yang
dapat diteladani di masa mendatang. Aku sangat bersyukur dapat berpartisipasi
pada pelatihan ini. Mungkin, jika tidak melewati pelatihan ini, aku tidak
pernah tahu apa rasa yang paling indah yang dapat dirasakan seseorang ketika akhirnya
merasa bermanfaat untuk orang lain.
Kami memilih
lapak tersebut karena lokasinya yang berdekatan dengan kampus. Teman-teman di
kampusku terkadang mengunjungi lapak ini, tetapi aku belum pernah berkunjung
sebelumnya ke lapak ini. Sebagian besar penduduk yang menghuni lapak ini
bekerja sebagai pemulung sampah. Baru kali ini, aku berkunjung ke tempat
sekumuh itu. Lingkungannya kotor karena sebagian besar dari mereka memang
berprofesi mengumpulkan sampah-sampah. Perabot-perabot bekas juga menghiasi
rumah-rumah triplek mereka. Sebagian besar anak-anak di sana berbicara kasar
karena hidupnya sungguh keras dan kurang mendapat pendidikan yang baik dan
layak sejak kecil.
Rasanya
mataku tersihir selama ini hingga ingin berair saat melihat pemandangan yang
baru kusaksikan. Terkadang, jauh-jauh kita memandang ke kota-kota yang jauh
dari tempat kita tinggal dan luput melihat keadaan sekeliling kita, sedekat
ratusan bahkan hanya puluhan langkah kaki, yang kondisinya tak sebaik kita.
Sore itu,
kami hanya sempat membelikan beberapa kue untuk dimakan bersama sambil belajar
dan bermain bersama dengan bahagia. Aku melihat anak-anak itu tersenyum gembira
karena kedatangan kami. Sungguh, tidak ada perasaan yang lebih indah daripada
melihat orang lain tersenyum karena kehadiran kita, hanya karena kita hadir
dalam hidupnya.
“Terima
kasih, Mbak, terima kasih, terima kasih.” ucap seorang ibu berulang kali hingga
menetes air mata di pipinya.
Rasa terima
kasih yang paling besar yang pernah aku terima atas pemberian yang seremeh itu,
hanya karena kami sempat datang sebentar, hanya membawa kue sekadarnya, hanya
menghibur seadanya, hanya mengajarkan sedikit ilmu. Apa yang menurutmu biasa
saja, mungkin menurut orang lain hal itu sangat luar biasa. Ibu itu sangat
berterima kasih kepada kami karena kami telah menyempatkan diri untuk hadir di
tengah-tengah mereka yang keberadaannya seperti hampir dilupakan dunia, berbagi
suatu hal kecil yang mungkin di masa mendatang dapat mencerahkan kehidupan
mereka.
Sejak saat
itu, prinsip hidupku bertambah satu. Percuma ilmuku setinggi langit, hartaku
seluas lautan, jika hidupku hanya bermanfaat untuk diriku sendiri. Sejak saat
itu, aku selalu berusaha untuk berbagi kue kebahagiaan kepada orang-orang yang
hanya sesekali mencicipinya, entah lewat hartaku, ilmuku, waktuku, tenagaku,
atau hanya doaku yang dapat kubagi.
“Barang siapa
memudahkan kepada orang yang kesempitan, Allah akan memudahkan kepadanya di
dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
No comments:
Post a Comment