Monday, June 15, 2015

(56) Cut Sarah Dwindahany : Berbagi Kue Kebahagiaan

Rumah-rumah mewah, jalan-jalan yang lapang, dan mobil-mobil bagus yang terparkir di garasi seolah mencibir kami yang berjalan melewatinya dengan berjalan kaki.
Ketika sampai di ujung jalan buntu, aku melihat di sisi kirinya terhampar rumah-rumah tak layak huni, rumah-rumah triplek yang karena goncangan sedikit saja mungkin bisa runtuh. Namun, di sisi lainnya aku melihat pemandangan rumah-rumah mewah yang seolah tidak tahu ada saudara dekatnya yang sudah tak layak lagi disebut rumah.

Sore itu, aku dan teman-teman sengaja berkunjung ke “lapak” (kumpulan rumah-rumah triplek) tersebut untuk melakukan kegiatan kemanusiaan sesuai arahan pembimbing kami. Saat itu, kami sedang menjalani pelatihan kepemimpinan agar kami menjadi pemimpin-pemimpin yang baik pada organisasi yang kami pimpin dan menjadi orang-orang baik yang dapat diteladani di masa mendatang. Aku sangat bersyukur dapat berpartisipasi pada pelatihan ini. Mungkin, jika tidak melewati pelatihan ini, aku tidak pernah tahu apa rasa yang paling indah yang dapat dirasakan seseorang ketika akhirnya merasa bermanfaat untuk orang lain.


Kami memilih lapak tersebut karena lokasinya yang berdekatan dengan kampus. Teman-teman di kampusku terkadang mengunjungi lapak ini, tetapi aku belum pernah berkunjung sebelumnya ke lapak ini. Sebagian besar penduduk yang menghuni lapak ini bekerja sebagai pemulung sampah. Baru kali ini, aku berkunjung ke tempat sekumuh itu. Lingkungannya kotor karena sebagian besar dari mereka memang berprofesi mengumpulkan sampah-sampah. Perabot-perabot bekas juga menghiasi rumah-rumah triplek mereka. Sebagian besar anak-anak di sana berbicara kasar karena hidupnya sungguh keras dan kurang mendapat pendidikan yang baik dan layak sejak kecil.

Rasanya mataku tersihir selama ini hingga ingin berair saat melihat pemandangan yang baru kusaksikan. Terkadang, jauh-jauh kita memandang ke kota-kota yang jauh dari tempat kita tinggal dan luput melihat keadaan sekeliling kita, sedekat ratusan bahkan hanya puluhan langkah kaki, yang kondisinya tak sebaik kita.

Sore itu, kami hanya sempat membelikan beberapa kue untuk dimakan bersama sambil belajar dan bermain bersama dengan bahagia. Aku melihat anak-anak itu tersenyum gembira karena kedatangan kami. Sungguh, tidak ada perasaan yang lebih indah daripada melihat orang lain tersenyum karena kehadiran kita, hanya karena kita hadir dalam hidupnya.

“Terima kasih, Mbak, terima kasih, terima kasih.” ucap seorang ibu berulang kali hingga menetes air mata di pipinya.

Rasa terima kasih yang paling besar yang pernah aku terima atas pemberian yang seremeh itu, hanya karena kami sempat datang sebentar, hanya membawa kue sekadarnya, hanya menghibur seadanya, hanya mengajarkan sedikit ilmu. Apa yang menurutmu biasa saja, mungkin menurut orang lain hal itu sangat luar biasa. Ibu itu sangat berterima kasih kepada kami karena kami telah menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka yang keberadaannya seperti hampir dilupakan dunia, berbagi suatu hal kecil yang mungkin di masa mendatang dapat mencerahkan kehidupan mereka.

Sejak saat itu, prinsip hidupku bertambah satu. Percuma ilmuku setinggi langit, hartaku seluas lautan, jika hidupku hanya bermanfaat untuk diriku sendiri. Sejak saat itu, aku selalu berusaha untuk berbagi kue kebahagiaan kepada orang-orang yang hanya sesekali mencicipinya, entah lewat hartaku, ilmuku, waktuku, tenagaku, atau hanya doaku yang dapat kubagi.

“Barang siapa memudahkan kepada orang yang kesempitan, Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

No comments:

Post a Comment