Tuesday, June 16, 2015

(77) Azka Shabrina : Anomali

Ibu saya selalu marah setiap saya lupa berterima kasih, apalagi bersikap kurang ramah, pada orang. Terutama yang seringkali terasa remeh jasanya; asisten rumah tangga, pelayan restoran, pramuniaga, kasir… siapa pun. Alhasil saya jadi terus berusaha ramah, meski selama bertahun-tahun tidak pernah benar-benar mengerti mengapa. Saya pernah berpikir: buat apa? Mereka dibayar untuk membantu kita, kan?
Sampai akhirnya, semesta yang menjawab.

Satu tahun silam, saya menerima tawaran pekerjaan di sebuah sekolah Yoga. Saya mengisi posisi sebagai resepsionis. Saya harus menyapa peserta kelas Yoga yang datang setiap pagi dengan senyum di wajah, tutur manis, serta sikap ramah. Syukurlah hampir semua orang yang datang ke sana memang mencari ketenangan sehingga mereka pun berlaku sama; manis, ramah, tersenyum.

Kata kuncinya: hampir. Sebab saya menemukan satu orang yang tingkahnya berbeda.
Sebutlah dia Anomali. Ia datang suatu pagi dengan dagu agak tinggi. Saya menyapanya, mengucapkan selamat pagi sembari tersenyum. Dia hanya mengangguk singkat kemudian berlalu. Tanpa senyum. Tanpa dua patah kata masif-magis: ‘terima kasih’.

Saya hanya menghela napas. Berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa Anomali hanyalah anomali; bahwa tidak perlu memendam rasa dongkol. Lagipula paling-paling orangnya juga sudah masuk ruang Yoga sekarang, jadi saya tidak akan perlu menghadapinya lagi sampai akhir hari, kan?
Iya, kan? Benar, kan?
Salah.
Selang beberapa waktu kemudian, Anomali melongokkan kepalanya dari balik lorong penghubung meja resepsionis dengan kamar mandi. Dagunya masih tinggi. Dan dengan intonasi dingin, dia bertanya,
“Mbak, gimana sih, kok di kamar mandi nggak ada handuk?”
“Aduh maaf sekali, Mas… Kami memang tidak menyediakan. Biasanya yang lain pun bawa handuk sendiri-sendiri—“
“Carikan saya handuk.” Dan kepala itu hilang lagi di balik lorong. Tanpa senyum. Tanpa mantra ‘tolong’.
Barangkali Anomali tidak akan pernah sadar, ia telah merusak hari saya.

Marah, saya sengaja menyibukkan diri dengan tamu lain agar tidak perlu berinteraksi dengan Anomali. Saya bahkan bertekad bahwa, nanti saat kelas pagi ini usai, saya tidak akan mengucapkan terima kasih, hati-hati di jalan sebagaimana kepada yang lainnya. Saya hanya akan berbuat begitu pada mereka yang ramah.
Hingga kemudian dia, yang tadi datang sendirian, keluar dari kelas bersisian dengan tamu lain. Bercakap-cakap. Menawarkan untuk membantu membawa barang.
Dan tersenyum.
Kesadaran menghantam saya: dia sebenarnya ramah. Dia ramah! Tapi…
…hanya kepada orang tertentu saja.

Di meja resepsionis, saya cuma bisa terpana. Tidak menyangka harus terdiskriminasi gara-gara saya hanya resepsionis di sana. Akhirnya saya mengerti apa yang Ibu saya berusaha ajarkan: kesamaan.
Baik resepsionis maupun murid sekolah Yoga; atasan maupun bawahan; kaya maupun miskin; dibayar maupun tidak dibayar; saya maupun kamu; kita semua, akan sama senang diberikan keramahan. Sama, berhak. Jadi mengapa melihat pada perbedaan alih-alih persamaannya?
Kebaikan adalah kebaikan, siapa pun penerimanya.

Maka ketika ia lewat, saya memberinya ucapan: terima kasih, hati-hati di jalan. Lengkap dengan senyuman. Sebab dia dan tamu lain yang lebih ramah, tidak berbeda di mata kebaikan.

Kebaikan sederhana dalam dua patah kata masif-magis dan satu senyum yang sampai ke mata, untuk meletakkan manusia di anak tangga yang sama.

No comments:

Post a Comment