Ibu saya selalu marah setiap saya lupa
berterima kasih, apalagi bersikap kurang ramah, pada orang. Terutama yang
seringkali terasa remeh jasanya; asisten rumah tangga, pelayan restoran,
pramuniaga, kasir… siapa pun. Alhasil saya jadi terus berusaha ramah, meski
selama bertahun-tahun tidak pernah benar-benar mengerti mengapa. Saya pernah
berpikir: buat apa? Mereka dibayar untuk membantu kita, kan?
Sampai akhirnya, semesta yang menjawab.
Satu tahun silam, saya menerima tawaran
pekerjaan di sebuah sekolah Yoga. Saya mengisi posisi sebagai resepsionis. Saya
harus menyapa peserta kelas Yoga yang datang setiap pagi dengan senyum di
wajah, tutur manis, serta sikap ramah. Syukurlah hampir semua orang yang datang
ke sana memang mencari ketenangan sehingga mereka pun berlaku sama; manis,
ramah, tersenyum.
Kata kuncinya: hampir. Sebab saya menemukan satu orang yang tingkahnya berbeda.
Sebutlah dia Anomali. Ia datang suatu
pagi dengan dagu agak tinggi. Saya menyapanya, mengucapkan selamat pagi sembari
tersenyum. Dia hanya mengangguk singkat kemudian berlalu. Tanpa senyum. Tanpa dua
patah kata masif-magis: ‘terima kasih’.
Saya hanya menghela napas. Berulang kali
mengingatkan diri sendiri bahwa Anomali hanyalah anomali; bahwa tidak perlu
memendam rasa dongkol. Lagipula paling-paling orangnya juga sudah masuk ruang
Yoga sekarang, jadi saya tidak akan perlu menghadapinya lagi sampai akhir hari,
kan?
Iya, kan? Benar, kan?
Salah.
Selang beberapa waktu kemudian, Anomali
melongokkan kepalanya dari balik lorong penghubung meja resepsionis dengan
kamar mandi. Dagunya masih tinggi. Dan dengan intonasi dingin, dia bertanya,
“Mbak, gimana sih, kok di kamar mandi nggak
ada handuk?”
“Aduh maaf sekali, Mas… Kami memang
tidak menyediakan. Biasanya yang lain pun bawa handuk sendiri-sendiri—“
“Carikan saya handuk.” Dan kepala itu
hilang lagi di balik lorong. Tanpa senyum. Tanpa mantra ‘tolong’.
Barangkali Anomali tidak akan pernah
sadar, ia telah merusak hari saya.
Marah, saya sengaja menyibukkan diri
dengan tamu lain agar tidak perlu berinteraksi dengan Anomali. Saya bahkan
bertekad bahwa, nanti saat kelas pagi ini usai, saya tidak akan mengucapkan terima kasih, hati-hati di jalan
sebagaimana kepada yang lainnya. Saya hanya akan berbuat begitu pada mereka
yang ramah.
Hingga kemudian dia, yang tadi datang
sendirian, keluar dari kelas bersisian dengan tamu lain. Bercakap-cakap. Menawarkan
untuk membantu membawa barang.
Dan tersenyum.
Kesadaran menghantam saya: dia
sebenarnya ramah. Dia ramah! Tapi…
…hanya
kepada orang tertentu saja.
Di meja resepsionis, saya cuma bisa
terpana. Tidak menyangka harus terdiskriminasi gara-gara saya hanya resepsionis di sana. Akhirnya saya
mengerti apa yang Ibu saya berusaha ajarkan: kesamaan.
Baik resepsionis maupun murid sekolah
Yoga; atasan maupun bawahan; kaya maupun miskin; dibayar maupun tidak dibayar;
saya maupun kamu; kita semua, akan sama senang diberikan keramahan. Sama,
berhak. Jadi mengapa melihat pada perbedaan alih-alih persamaannya?
Maka ketika ia lewat, saya memberinya
ucapan: terima kasih, hati-hati di jalan. Lengkap dengan senyuman. Sebab dia
dan tamu lain yang lebih ramah, tidak berbeda di mata kebaikan.
Kebaikan sederhana dalam dua patah kata
masif-magis dan satu senyum yang sampai ke mata, untuk meletakkan manusia di
anak tangga yang sama.
No comments:
Post a Comment