Tuesday, June 16, 2015

(88) Eno Trianti : Bukanlah Pintu Itu

Sabtu itu matahari begitu terik dan terlalu semangat menyinari dunia, bahkan kupikir hari ini lebih terik dari biasanya. Keringat mengucur deras dikepalaku yang tertutup kerudung coklat.  Kutengok jam yang muncul di layar screensaver HP-ku, pukul 12.30. Pantas saja. Aku masih duduk di kursi semen dekat lapangan, menunggu temanku yang sedang ada acara eksul pecinta alam. Kebetulan hari ini aku akan bermain ke rumah temanku, Futri.
Aku duduk terdiam, kepalaku menengadah ke langit lepas. Karena matahari sudah terlalu terik, akhirnya mataku mengalah dengan teriknya. Aku menoleh sebentar ke sebelah kiriku melihat segerombolan siswa yang sedang ekskul pecinta Alam. Beberapa dari mereka terlihat begitu serius membicarakan sesuatu, entah apa itu. Kupikir pecinta alam merupakan wadah untuk para siswa mengenal alamnya dan setahuku anak-anak pecinta alam itu punya rasa solidarias yang tinggi, apalagi ketika mereka pergi naik gunung, pastinya mereka saling menjaga satu sama lain. Walaupun status sosial, suku ataupun agama mereka berbeda-beda. Tapi karena penyakit asmaku, kuurungkan niatku mengikuti ekskul itu.

            Usai 20 menit berlalu, ekskul itu pun menyelesaikan pertemuannya. Masing-masing anggotanya mulai membubarkan diri dari kumpulan tadi. Termasuk Futri, langkahnya mulai mendekatiku. “Yuk berangkat no” ajaknya, jawabku mengangguk. Tapi sebelum berangkat, kami membeli beberapa makanan di koperasi sekolah.
            Kami pun melangkah bersamaan menuju rumah Futri. Sepanjang perjalanan, kami banyak bercerita. Saat kami sedang bercengkrama menceritakan pengalaman lucu kami, dari kejauhan terlihat seorang ibu yang membawa sekantong plastik yang aku pun tak tahu persis apa isinya. Wajahnya begitu kusam terlihat olehku, langkahnya sepertinya semakin mendekat ke arah kami. Aku semakin memperhatikannya lamat-lamat.
            Benar saja, dia mendekat ke arah kami. Dengan wajah yang nampak kelelahan dia berkata dengan suara parau dan menyodorkan sebuah kerudung kepada kami “Neng, tolong beli kerudung ini neng. Ibu mau pulang, anak ibu sakit tapi ibu ga punya ongkos neng. Berapa aja neng harganya, tapi tolong beli ya nengg” matanya mulai bercucuran air mata.
            Aku dan Futri bertatapan, mengodok kantong baju pramuka masing-masing. Uangku tinggal Rp. 8.000, lalu aku keluarkan semuanya. Futri menambahkan Rp. 2000. Kami memberikan kepada ibu itu “Ibu maaf hanya seadanya, semoga bisa membantu ya. Kerudungnya ibu bawa lagi saja” kataku seraya tersenyum. “Terimakasih neng terimakasih banyak” katannya masih menangis, tapi terlihat dari wajahnya kali ini dia menangis bahagia.
            Ibu itu lalu pergi dengan berjalan tergesa-gesa. “Eno, bukannya uang lu tinggal Rp.8.000 ya?” tanya Futri. “Iya sih, tapi ga apa-apa lah kasian ibu tadi anaknya sakit. Kita ke rumah kamunya jalan aja ya, terus nanti aku pulang minjem uang ya hehehe” kataku dengan memasang muka penuh harap. “Iya iya” jawabnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kami yang sepertinya masih sangat jauh.
            Sebenarnya bukan berapa dan apa yang kita lakukuan untuk orang lain. Tapi keinginan kita untuk membantu sesama, jelas itu lah yang penting. Mungkin semua orang memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian yang sama. Tapi yang berbeda, apakah saat rasa itu muncul mengetuk pintu nuraninya. Akankah kita membukanya, atau malah mengabaikan ketukan itu? Jawabannya ada disitu, di hatil kecil itu.

No comments:

Post a Comment