Sabtu itu matahari begitu terik
dan terlalu semangat menyinari dunia, bahkan kupikir hari ini lebih terik dari
biasanya. Keringat mengucur deras dikepalaku yang tertutup kerudung
coklat. Kutengok jam yang muncul di layar
screensaver HP-ku, pukul 12.30. Pantas saja. Aku masih duduk di kursi semen
dekat lapangan, menunggu temanku yang sedang ada acara eksul pecinta alam.
Kebetulan hari ini aku akan bermain ke rumah temanku, Futri.
Aku duduk terdiam, kepalaku
menengadah ke langit lepas. Karena matahari sudah terlalu terik, akhirnya mataku
mengalah dengan teriknya. Aku menoleh sebentar ke sebelah kiriku melihat
segerombolan siswa yang sedang ekskul pecinta Alam. Beberapa dari mereka
terlihat begitu serius membicarakan sesuatu, entah apa itu. Kupikir pecinta
alam merupakan wadah untuk para siswa mengenal alamnya dan setahuku anak-anak
pecinta alam itu punya rasa solidarias yang tinggi, apalagi ketika mereka pergi
naik gunung, pastinya mereka saling menjaga satu sama lain. Walaupun status
sosial, suku ataupun agama mereka berbeda-beda. Tapi karena penyakit asmaku,
kuurungkan niatku mengikuti ekskul itu.
Usai
20 menit berlalu, ekskul itu pun menyelesaikan pertemuannya. Masing-masing
anggotanya mulai membubarkan diri dari kumpulan tadi. Termasuk Futri,
langkahnya mulai mendekatiku. “Yuk berangkat no” ajaknya, jawabku mengangguk.
Tapi sebelum berangkat, kami membeli beberapa makanan di koperasi sekolah.
Kami
pun melangkah bersamaan menuju rumah Futri. Sepanjang perjalanan, kami banyak
bercerita. Saat kami sedang bercengkrama menceritakan pengalaman lucu kami,
dari kejauhan terlihat seorang ibu yang membawa sekantong plastik yang aku pun
tak tahu persis apa isinya. Wajahnya begitu kusam terlihat olehku, langkahnya
sepertinya semakin mendekat ke arah kami. Aku semakin memperhatikannya
lamat-lamat.
Benar
saja, dia mendekat ke arah kami. Dengan wajah yang nampak kelelahan dia berkata
dengan suara parau dan menyodorkan sebuah kerudung kepada kami “Neng, tolong
beli kerudung ini neng. Ibu mau pulang, anak ibu sakit tapi ibu ga punya ongkos
neng. Berapa aja neng harganya, tapi tolong beli ya nengg” matanya mulai
bercucuran air mata.
Aku
dan Futri bertatapan, mengodok kantong baju pramuka masing-masing. Uangku
tinggal Rp. 8.000, lalu aku keluarkan semuanya. Futri menambahkan Rp. 2000.
Kami memberikan kepada ibu itu “Ibu maaf hanya seadanya, semoga bisa membantu
ya. Kerudungnya ibu bawa lagi saja” kataku seraya tersenyum. “Terimakasih neng
terimakasih banyak” katannya masih menangis, tapi terlihat dari wajahnya kali
ini dia menangis bahagia.
Ibu
itu lalu pergi dengan berjalan tergesa-gesa. “Eno, bukannya uang lu tinggal
Rp.8.000 ya?” tanya Futri. “Iya sih, tapi ga apa-apa lah kasian ibu tadi
anaknya sakit. Kita ke rumah kamunya jalan aja ya, terus nanti aku pulang
minjem uang ya hehehe” kataku dengan memasang muka penuh harap. “Iya iya”
jawabnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kami yang sepertinya masih sangat jauh.
Sebenarnya
bukan berapa dan apa yang kita lakukuan untuk orang lain. Tapi keinginan kita
untuk membantu sesama, jelas itu lah yang penting. Mungkin semua orang memiliki
rasa kemanusiaan dan kepedulian yang sama. Tapi yang berbeda, apakah saat rasa
itu muncul mengetuk pintu nuraninya. Akankah kita membukanya, atau malah
mengabaikan ketukan itu? Jawabannya ada disitu, di hatil kecil itu.
No comments:
Post a Comment