Monday, June 15, 2015

(62) Muhmad Rois Almaududy : Selalu Ada Alasan Untuk Bersatu

13 tahun pendidikan formal pertama (TK, SD, SMP, dan SMA) saya lalui di sekolah-sekolah Islam. Itu artinya, orang-orang di sekeliling saya semuanya beragama Islam. Baru pada tahun 2011, ketika saya mulai kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, saya berteman dengan orang-orang yang tidak semuanya Islam. Ya, sekilas memang tidak ada yang aneh dalam hal seperti ini. Tapi sejatinya, ada masalah membahayakan yang diam-diam menyelinap. Itulah yang akan kita bahas.
                Bagi sebagian orang, ada gap yang sangat besar sekali dalam berhubungan dengan orang lain yang tidak seagama. Inilah yang saya lihat terjadi pada orang-orang yang terbiasa hidup di tempat yang semua masyarakatnya bergama yang sama dengannya. Misalnya, ini rentan terjadi pada anak-anak pesantren yang di kampung halamannya semua orang beragama Islam. Bagi mereka, berteman dengan orang-orang non-muslim itu terasa asing dan tidak nyaman. Maka mereka akan berusaha menjauh dari tempat-tempat yang di sana ada orang non-muslim.
Saya memandang ini sebagai suatu kesalahan dan bentuk ekstrimisme pemikiran. Seolah agama memang melarang kita bergaul dengan orang yang berkeyakinan berbeda. Di dalam Islam, pergaulan dengan orang non-islam tetap diperbolehkan. Bahkan, ketika Rasulullah saw masih hidup dan beliau menjadi pemimpin di Madinah, di sana masih tetap ada yang beragama Yahudi. Tidak ada masalah bila syaratnya terpenuhi, yakni rukun dan toleran. Di dalam kitab suci Al-Qur’an juga diperintahkan untuk tetap berlaku adil meski berbeda akidah (keyakinan). Nah?
                Demikianlah.  Maka saya selalu memegang prinsip; selalu ada alasan untuk bersatu. Bila kita satu keyakinan kita bisa bersatu atas dasar keyakinan. Bila tidak, kita punya alasan untuk bersaudara karena kita hidup di atas tanah negeri yang sama. Bahkan bila tidak satu keyakinan dan tidak satu negeri, kita masih punya alasan untuk bersatu karena kita sama-sama manusia. No reason for partiality, so many reason for impartiality.
                Kini sudah hampir empat tahun lamanya saya bergaul dengan teman-teman yang tidak seagama, tidak berasal dari suku yang sama, dan bahasa daerah yang tidak sama. Bagi saya, semua itu bagaikan warna yang membentuk pelangi. Indah. Hanya saja, kita harus bisa tetap waspada, tidak menyinggung hal-hal yang membangkitkan permusuhan dan keretakan hubungan.
                Di dalam kelas, misalnya, tidak dibahas isu-isu yang menyangkut masalah keagamaan, kecuali di forum yang memungkinkan pembahasan itu bisa berjalan dengan kondusif. Masalahnya, kadang pembicaraan seperti ini tidak pada tempatnya, tidak pula ada tujuan yang pasti. Hanya pembicaraan ngalor-ngidul. Dianggap tidak bermasalah, tapi sering terjadi ujungnya adalah permusuhan.
                Itulah sebabnya, ketika bergaul dengan teman yang berbeda dengan kita, berfokuslah pada kesamaan. Misalnya kalau itu teman sekampus, bahaslah masalah kampus, tugas, dan sebagainya. Seperti itu juga kalau bahasa daerah itu berbeda, pakailah bahasa Indonesia. Pun, tidak perlu terlalu membangga-banggakan suku dan merendahkan suku lain.
                Nah, seperti apa pun corak hubungan yang kita bentuk, usaha untuk menjaganya mutlak harus dilakukan. Tidak hanya ketika bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama, suku, dan bahasa daerah, bergaul dengan orang-orang yang sama agama, suku, dan bahasa daerah juga tetap harus ada kesadaran untuk saling menjaga. Bila tidak, pastilah akan terjadi “perang”. Bila dijaga, perbedaan dalam pergaulan menjadi seperti pelangi penghias langit. Indah.

No comments:

Post a Comment