13 tahun pendidikan formal pertama (TK, SD, SMP, dan
SMA) saya lalui di sekolah-sekolah Islam. Itu artinya, orang-orang di
sekeliling saya semuanya beragama Islam. Baru pada tahun 2011, ketika saya
mulai kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, saya berteman
dengan orang-orang yang tidak semuanya Islam. Ya, sekilas memang tidak ada yang
aneh dalam hal seperti ini. Tapi sejatinya, ada masalah membahayakan yang
diam-diam menyelinap. Itulah yang akan kita bahas.
Bagi
sebagian orang, ada gap yang sangat
besar sekali dalam berhubungan dengan orang lain yang tidak seagama. Inilah
yang saya lihat terjadi pada orang-orang yang terbiasa hidup di tempat yang semua
masyarakatnya bergama yang sama dengannya. Misalnya, ini rentan terjadi pada anak-anak pesantren yang di kampung halamannya
semua orang beragama Islam. Bagi mereka, berteman dengan orang-orang non-muslim
itu terasa asing dan tidak nyaman. Maka mereka akan berusaha menjauh dari
tempat-tempat yang di sana ada orang non-muslim.
Demikianlah.
Maka saya selalu memegang prinsip;
selalu ada alasan untuk bersatu. Bila kita satu keyakinan kita bisa bersatu
atas dasar keyakinan. Bila tidak, kita punya alasan untuk bersaudara karena
kita hidup di atas tanah negeri yang sama. Bahkan bila tidak satu keyakinan dan
tidak satu negeri, kita masih punya alasan untuk bersatu karena kita sama-sama
manusia. No reason for partiality, so many reason for impartiality.
Kini
sudah hampir empat tahun lamanya saya bergaul dengan teman-teman yang tidak
seagama, tidak berasal dari suku yang sama, dan bahasa daerah yang tidak sama.
Bagi saya, semua itu bagaikan warna yang membentuk pelangi. Indah. Hanya saja,
kita harus bisa tetap waspada, tidak menyinggung hal-hal yang membangkitkan
permusuhan dan keretakan hubungan.
Di
dalam kelas, misalnya, tidak dibahas isu-isu yang menyangkut masalah keagamaan,
kecuali di forum yang memungkinkan pembahasan itu bisa berjalan dengan
kondusif. Masalahnya, kadang pembicaraan seperti ini tidak pada tempatnya,
tidak pula ada tujuan yang pasti. Hanya pembicaraan ngalor-ngidul. Dianggap
tidak bermasalah, tapi sering terjadi ujungnya adalah permusuhan.
Itulah
sebabnya, ketika bergaul dengan teman yang berbeda dengan kita, berfokuslah
pada kesamaan. Misalnya kalau itu teman sekampus, bahaslah masalah kampus,
tugas, dan sebagainya. Seperti itu juga kalau bahasa daerah itu berbeda,
pakailah bahasa Indonesia. Pun, tidak perlu terlalu membangga-banggakan suku
dan merendahkan suku lain.
Nah,
seperti apa pun corak hubungan yang kita bentuk, usaha untuk menjaganya mutlak
harus dilakukan. Tidak hanya ketika bergaul dengan orang-orang yang berbeda
agama, suku, dan bahasa daerah, bergaul dengan orang-orang yang sama agama,
suku, dan bahasa daerah juga tetap harus ada kesadaran untuk saling menjaga.
Bila tidak, pastilah akan terjadi “perang”. Bila dijaga, perbedaan dalam
pergaulan menjadi seperti pelangi penghias langit. Indah.
No comments:
Post a Comment