Tuesday, June 16, 2015

(89) Wildan Muhammad : Apa yang Akan Kamu Lakukan?

Sekitar tahun 2007
Di sela kuliah tiba-tiba sebuah pesan menggetarkan ponselmu. Seseorang membutuhkan pertolonganmu di PMI. Kata-kata di dalamnya menggerakkan nalurimu. Tanpa berpamitan kamu keluar ruang kuliah. Tidak kamu pedulikan dosenmu samar-samar bilang, “Hei kamu mau ke mana? Ini masih kuliah.”
Kamu ambil motor dan pacu secepat mungkin. “Beruntung darahmu cocok. Ibu itu sudah nyaris putus asa,” ujar petugas PMI selesai merapikan kantong darah. Kamu dekati wanita paruh baya itu. Tanpa disangka ia menangis di depanmu sambil mengulurkan lembaran sepuluh ribu.

Apa yang akan kamu lakukan?
Kamu mengangkat tangan dan berkata, “Tidak usah Bu. Jangan.”
“Sebagai ucapan terima kasih saja,” kata beliau.
“Bu, jangan. Tidak perlu.”
Beliau memasukkan uangnya kembali sambil berkata terima kasih berulang kali. “Darahnya apa sudah cukup Bu?” tanyamu.
“Belum. Masih butuh dua lagi buat operasi ibu kandung saya,” ujarnya.
Apa yang akan kamu lakukan?
Kamu merasa kasihan kepadanya. Tanpa ia minta kamu cari pendonor lain. Wanita itu berterimakasih lagi kepadamu. Kamu telpon teman-temanmu satu per satu. Mencari orang bergolongan darah B yang mau. Percobaan ketiga kamu berhasil. Tapi masih butuh satu orang lagi.
“Ini teman saya menuju ke sini Bu. Ia mau mendonorkan darahnya,” ujarmu kepada wanita itu.
Ia tidak menjawab. Hanya menangis. Pertolonganmu telah menyelamatkan rasa cemasnya yang mendidih. Tidak lama temanmu datang dan darahnya diambil. Adegan yang sama pun berulang. Namun temanmu juga tidak mau.
Entah mengapa rasa sesak memenuhi dadamu. Kamu bertekad menemukan seorang lagi bagaimana pun caranya. Kamu mencoba hubungi temanmu yang lain. Sayang hampir semuanya bergolongan darah berbeda, yang sesuai tidak bisa kalau butuh cepat. Tapi seorang temanmu yang darahnya cocok menjawab, “Aku… yang lain gak ada?”
“Ada, tapi tidak bisa. Kamu lagi repot gak?”
“Gak sih. Tapi aku takut jarum suntik.”
Astaga, pikirmu, apa ia tidak tahu ada nyawa orang sedang dalam bahaya? “Tolonglah. Ini soal hidup dan mati,” setengah memohon kamu coba membujuk.
Temanmu menggumam tidak jelas. “Gimana ya. Aku juga punya darah tinggi.”
Nyaris putus asa bercampur kesal kamu tetap berusaha. “Cobalah kemari dulu. Kumohon. Kasihan ibu ini butuh darahmu buat operasi,” pintamu mengiba.
Temanmu tetap menolak. Kamu tutup telponmu tanpa memberi salam. Kamu marah pada ketidakpedulian temanmu. Mengapa sampai ia mengabaikan keselamatan orang lain demi alasan sepele? Kamu marah dan kecewa. Tanpa sadar bulir-bulir kecil membasahi pelupukmu.
Tiba-tiba wanita tadi mendekatimu. “Mas, Ibu saya harus segera operasi. Kondisinya kritis. Terima kasih ya Mas.” Tanpa berkata apa-apa lagi ia pergi. Bunyi sepatunya bergema sepanjang lorong menuju lobi. Dari jauh kamu memandanginya. Berharap semua baik-baik saja.
Akhirnya kamu pulang karena hari sudah sore.
Kamu sempatkan mampir sembahyang. Berharap keajaiban Tuhan datang kepada ibu wanita tadi. Namun kadang kenyataan berbeda dengan keinginanmu. Esok hari kamu bangun pagi dan membaca pesan dari wanita yang memohon darahmu.

“Mas, terima kasih atas pertolongannya kemarin. Saya ingin mengabarkan Ibu semalam pergi. Sekarang Ibu sudah tenang. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa. Semoga Allah memudahkan segala urusan Mas. Terima kasih banyak sekali lagi. Pertolongan Mas akan selalu saya ingat.”

No comments:

Post a Comment