Sekitar tahun 2007
Di sela
kuliah tiba-tiba sebuah pesan menggetarkan ponselmu. Seseorang membutuhkan
pertolonganmu di PMI. Kata-kata di dalamnya menggerakkan nalurimu. Tanpa berpamitan
kamu keluar ruang kuliah. Tidak kamu pedulikan dosenmu samar-samar bilang, “Hei
kamu mau ke mana? Ini masih kuliah.”
Kamu
ambil motor dan pacu secepat mungkin. “Beruntung darahmu cocok. Ibu itu sudah
nyaris putus asa,” ujar petugas PMI selesai merapikan kantong darah. Kamu dekati
wanita paruh baya itu. Tanpa disangka ia menangis di depanmu sambil mengulurkan
lembaran sepuluh ribu.
Apa yang
akan kamu lakukan?
Kamu mengangkat
tangan dan berkata, “Tidak usah Bu. Jangan.”
“Sebagai
ucapan terima kasih saja,” kata beliau.
“Bu,
jangan. Tidak perlu.”
Beliau
memasukkan uangnya kembali sambil berkata terima kasih berulang kali. “Darahnya
apa sudah cukup Bu?” tanyamu.
“Belum.
Masih butuh dua lagi buat operasi ibu kandung saya,” ujarnya.
Apa yang
akan kamu lakukan?
Kamu
merasa kasihan kepadanya. Tanpa ia minta kamu cari pendonor lain. Wanita itu
berterimakasih lagi kepadamu. Kamu telpon teman-temanmu satu per satu. Mencari
orang bergolongan darah B yang mau. Percobaan ketiga kamu berhasil. Tapi masih
butuh satu orang lagi.
“Ini
teman saya menuju ke sini Bu. Ia mau mendonorkan darahnya,” ujarmu kepada wanita
itu.
Ia tidak
menjawab. Hanya menangis. Pertolonganmu telah menyelamatkan rasa cemasnya yang
mendidih. Tidak lama temanmu datang dan darahnya diambil. Adegan yang sama pun
berulang. Namun temanmu juga tidak mau.
Entah
mengapa rasa sesak memenuhi dadamu. Kamu bertekad menemukan seorang lagi
bagaimana pun caranya. Kamu mencoba hubungi temanmu yang lain. Sayang hampir semuanya
bergolongan darah berbeda, yang sesuai tidak bisa kalau butuh cepat. Tapi
seorang temanmu yang darahnya cocok menjawab, “Aku… yang lain gak ada?”
“Ada,
tapi tidak bisa. Kamu lagi repot gak?”
“Gak sih.
Tapi aku takut jarum suntik.”
Astaga, pikirmu,
apa ia tidak tahu ada nyawa orang sedang dalam bahaya? “Tolonglah. Ini soal
hidup dan mati,” setengah memohon kamu coba membujuk.
Temanmu
menggumam tidak jelas. “Gimana ya. Aku juga punya darah tinggi.”
Nyaris
putus asa bercampur kesal kamu tetap berusaha. “Cobalah kemari dulu. Kumohon.
Kasihan ibu ini butuh darahmu buat operasi,” pintamu mengiba.
Temanmu
tetap menolak. Kamu tutup telponmu tanpa memberi salam. Kamu marah pada
ketidakpedulian temanmu. Mengapa sampai ia mengabaikan keselamatan orang lain demi
alasan sepele? Kamu marah dan kecewa. Tanpa sadar bulir-bulir kecil membasahi
pelupukmu.
Tiba-tiba
wanita tadi mendekatimu. “Mas, Ibu saya harus segera operasi. Kondisinya
kritis. Terima kasih ya Mas.” Tanpa berkata apa-apa lagi ia pergi. Bunyi
sepatunya bergema sepanjang lorong menuju lobi. Dari jauh kamu memandanginya.
Berharap semua baik-baik saja.
Akhirnya
kamu pulang karena hari sudah sore.
Kamu
sempatkan mampir sembahyang. Berharap keajaiban Tuhan datang kepada ibu wanita
tadi. Namun kadang kenyataan berbeda dengan keinginanmu. Esok hari kamu bangun
pagi dan membaca pesan dari wanita yang memohon darahmu.
“Mas,
terima kasih atas pertolongannya kemarin. Saya ingin mengabarkan Ibu semalam
pergi. Sekarang Ibu sudah tenang. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa.
Semoga Allah memudahkan segala urusan Mas. Terima kasih banyak sekali lagi.
Pertolongan Mas akan selalu saya ingat.”
No comments:
Post a Comment