Tuesday, June 16, 2015

(81) Hepi Nuriyawan : Bagiku, Satu Lambang untuk Semua

Beberapa waktu lalu saya pernah berkomunikasi dengan salah satu pihak yang mengikuti kegiatan Bulan Sabit Merah Indonesia via BBM. Saya mengatakan bahwa “Lagi ngerayain hari jadi PMI Internasional ya de?”. Namun saya tercengang dengan jawabannya yang berbunyi, “I’m not talking about Red Cross kak, it’s about Red Cressent."
Saya semakin menyadari bahwa ternyata negara kita tercinta ini menganut dua lambang sekaligus, palang merah dan bulan sabit merah. Mungkin orang awam menyebutnya ini dengan hal yang biasa. Namun, di sisi lain, 7 prinsip kepalangmerahan sangat jelas mengatur bahwa bunyi “KESATUAN” adalah dalam satu negara HANYA boleh menggunakan satu lambang. Saya semakin bingung bagaimana untuk membalas pernyataan dari pihak tersebut.

Beberapa waktu lalu memang sering terdengar (sebelum pemilu tepatnya), bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) telah menggelar aksi tentang  Rancangan Undang – Undang (RUU) Kepalangmerahan yang sampai saat ini belum disahkan sebagai Undang – Undang. Padahal sudah diajukan sejak tahun 2007. Ironis, karena tersiar kabar bahwa para anggota dewan juga bingung apa yang harusnya kita pakai sebagai lambang organisasi kemanusiaan ini. Akhirnya mereka (anggota dewan) lebih memilih untuk studi banding ke Denmark dan Malaysia. Dua negara yang memiliki ciri khas dan penggunaan lambang yang berbeda. Lalu, mengapa mereka tidak studi banding ke IFRC sebagai induk organisasi palang merah dan bulan sabit merah internasional? Masih menjadi pertanyaan.
Kita tahu bahwa pada Keputusan Presiden (Keppres) No. 25 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa Palang Merah Indonesia adalah SATU – SATUNYA organisasi yang menjalankan pekerjaan palang merah di Republik Indonesia (Serikat) menurut Konvensi Jenewa tahun 1864, 1906, 1929, 1949), karena waktu itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Ditambah oleh Keppres No. 246 tahun 1963 yang menyatakan bahwa tugas – tugas pokok PMI dalam keadaan perang maupun damai harus bertanggung jawab kepada Pemerintan Republik Indonesia. Dari segi peraturan sangatlah jelas kita seharusnya menghormati adanya PMI di negeri ini, ini seharusnya menjadi acuan dasar dalam pelaksanaan kegiatan kemanusiaan di Indonesia. Namun, mengapa ada lambang Bulan Sabit Merah Indonesia.
Saya pernah bertemu seorang kawan dari perwakilan ICRC, yaitu Komite Palang Merah Internasional yang khusus menangani korban perang, mengatakan bahwa Bulan Sabit Merah khusus untuk negara yang mayoritas muslim (agama Islam). Waktu bercerita pada tragedi Banjarnegara, kawan saya diberi rompi berlambang Bulan Sabit Merah. Saya tanyakan mengapa demikian, dan jawabannya karena Indonesia mayoritas muslim. Ini yang menjadikan Indonesia yang menjadikan negara yang memiliki dua lambang sekaligus.
Sekali lagi, kita harus junjung prinsip “KESATUAN”, dimana satu negara satu lambang, dan lambang itu harus punya payung hukum yang benar. Kita menunggu bagaimana lambang ini disahkan oleh pemerintah, agar kegiatan kita dalam pekerjaan kemanusiaan bisa diakui oleh Pemerintah, dan diakui juga oleh dunia internasional melalui ICRC dan IFRC.

Yang jelas, seperti yang dikatakan oleh bapak kita, Jean Henry Dunant, Siamo Tutti Frateli (KITA SEMUA SAUDARA). Apapun yang dilakukan, junjung tinggi 7 Prinsip Kepalangmerahan Dan Bulan Sabit Merah. Walaupun berbeda pandangan, tetaplah junjung nilai kekeluargaan, hingga diperoleh bahwa kita adalah relawan yang benar – benar memiliki rasa kekeluargaan yang harmonis. Bagiku, SATU LAMBANG UNTUK SEMUA.

No comments:

Post a Comment