Beberapa waktu lalu saya pernah
berkomunikasi dengan salah satu pihak yang mengikuti kegiatan Bulan Sabit Merah
Indonesia via BBM. Saya mengatakan bahwa “Lagi ngerayain hari jadi PMI
Internasional ya de?”. Namun saya tercengang dengan jawabannya yang berbunyi, “I’m not talking about Red Cross kak, it’s about Red Cressent."
Saya semakin menyadari bahwa
ternyata negara kita tercinta ini menganut dua lambang sekaligus, palang merah
dan bulan sabit merah. Mungkin orang awam menyebutnya ini dengan hal yang
biasa. Namun, di sisi lain, 7 prinsip kepalangmerahan sangat jelas mengatur
bahwa bunyi “KESATUAN” adalah dalam satu negara HANYA boleh menggunakan satu
lambang. Saya semakin bingung bagaimana untuk membalas pernyataan dari pihak
tersebut.
Beberapa waktu lalu memang
sering terdengar (sebelum pemilu tepatnya), bahwa Palang Merah Indonesia (PMI)
telah menggelar aksi tentang Rancangan
Undang – Undang (RUU) Kepalangmerahan yang sampai saat ini belum disahkan
sebagai Undang – Undang. Padahal sudah diajukan sejak tahun 2007. Ironis,
karena tersiar kabar bahwa para anggota dewan juga bingung apa yang harusnya
kita pakai sebagai lambang organisasi kemanusiaan ini. Akhirnya mereka (anggota
dewan) lebih memilih untuk studi banding ke Denmark dan Malaysia. Dua negara
yang memiliki ciri khas dan penggunaan lambang yang berbeda. Lalu, mengapa
mereka tidak studi banding ke IFRC sebagai induk organisasi palang merah dan
bulan sabit merah internasional? Masih menjadi pertanyaan.
Kita tahu bahwa pada Keputusan
Presiden (Keppres) No. 25 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa Palang Merah
Indonesia adalah SATU – SATUNYA organisasi yang menjalankan pekerjaan palang
merah di Republik Indonesia (Serikat) menurut Konvensi Jenewa tahun 1864, 1906,
1929, 1949), karena waktu itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS). Ditambah oleh Keppres No. 246 tahun 1963 yang menyatakan bahwa tugas –
tugas pokok PMI dalam keadaan perang maupun damai harus bertanggung jawab
kepada Pemerintan Republik Indonesia. Dari segi peraturan sangatlah jelas kita
seharusnya menghormati adanya PMI di negeri ini, ini seharusnya menjadi acuan
dasar dalam pelaksanaan kegiatan kemanusiaan di Indonesia. Namun, mengapa ada
lambang Bulan Sabit Merah Indonesia.
Saya pernah bertemu seorang
kawan dari perwakilan ICRC, yaitu Komite Palang Merah Internasional yang khusus
menangani korban perang, mengatakan bahwa Bulan Sabit Merah khusus untuk negara
yang mayoritas muslim (agama Islam). Waktu bercerita pada tragedi Banjarnegara,
kawan saya diberi rompi berlambang Bulan Sabit Merah. Saya tanyakan mengapa
demikian, dan jawabannya karena Indonesia mayoritas muslim. Ini yang menjadikan
Indonesia yang menjadikan negara yang memiliki dua lambang sekaligus.
Sekali lagi, kita harus junjung
prinsip “KESATUAN”, dimana satu negara satu lambang, dan lambang itu harus
punya payung hukum yang benar. Kita menunggu bagaimana lambang ini disahkan
oleh pemerintah, agar kegiatan kita dalam pekerjaan kemanusiaan bisa diakui
oleh Pemerintah, dan diakui juga oleh dunia internasional melalui ICRC dan
IFRC.
Yang jelas, seperti yang
dikatakan oleh bapak kita, Jean Henry Dunant, Siamo Tutti Frateli (KITA SEMUA SAUDARA). Apapun yang dilakukan,
junjung tinggi 7 Prinsip Kepalangmerahan Dan Bulan Sabit Merah. Walaupun berbeda pandangan, tetaplah junjung nilai kekeluargaan, hingga
diperoleh bahwa kita adalah relawan yang benar – benar memiliki rasa
kekeluargaan yang harmonis. Bagiku, SATU LAMBANG UNTUK SEMUA.
No comments:
Post a Comment