Tuesday, June 16, 2015

(73) Rahajeng Anindya Setyoko : Perbedaan yang Tak Seharusnya Dibedakan

“Tuhan memang satu. Kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi?”, sepenggah lirik lagu Peri Cintaku  itu seakan mengingatkan kita bahwasannya setiap manusia memiliki sebuah perbedaan dan karenanya setiap manusia tidak dapat dipersatukan. Apakah hal tersebut benar? Tentu saja TIDAK! Banyak yang perlu kita perdalam, yaitu tentang perbedaan, seperti sampai batas manakah kita menegakkan perbedaan tersebut. Jawabannya tentu saja sebatas tidak menggoyahkan keimanan dan kepercayaan kita. Diluar  itu kita haruslah menegakkan bahwasannya setiap manusia adalah sama, sama-sama diciptakan untuk saling menolong satu sama lain tanpa adanya melihat agama, ras, dan golongan. Aku adalah salah satu orang yang banyak diberikan kesempatan mengalami indahnya perbedaan.
Aku adalah seorang muslim yang lahir prematur, lahir disaat yang tak terduga, jauh dari waktu yang diperkirakan. Kurang lebih 20 tahun yang lalu, Ibu dan Ayahku sedang mengunjungi suatu daerah dimana bukan kediaman mereka. Ditengah perjalan mereka, tiba-tiba Ibuku merasakan sakit di perutnya yang luar biasa. Akhirnya, Ibuku dirujuk ke Rumah Sakit Katolik. Meskipun itu Rumah Sakit Katolik, mereka tidak menelantarkan Ibuku yang sedang berjuang menahan rasa sakitnya, mereka tetap memberikan pertolongan terbaik agar dapat menyelamatkan Ibuku. Akhirnya dokter dengan tanggap datang dan memutuskan untuk operasi caesar di tengah malam. Notabennya di tengah malam, dokter spesialis kandungan tersebut tidak sedang dalam jam praktek, pihak Rumah Sakit sangat mengusahakan dokter spesialis kandungan hadir di masa-masa yang sangat krusial tersebut.
Sesaat setelah Diriku lahir, Ayahku tetap mengumandangkan adzan untuk ku di Rumah Sakit Katolik tersebut. Padahal rumah sakit itu katoliknya sangat kental. Sungguh mereka memberikan pelayanan yang terbaik untuk para pasien nya tanpa memandang adanya perbedaan diantara pihak. Hal tersebut sangat berarti bagi diriku, karena tanpa “Prinsip  Kesamaan” yang mereka terapkan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi setiap pasien tanpa memandang perbedaan, mungkin saja aku tidak terselamatkan dan tidak lahir di dunia ini.
Saat sekitar umur 4 tahun, Aku hijrah untuk tinggal ke DKI Jakarta. Sejak umur 4 tahun itu Aku memiliki dokter langganan, spesialis anak, yang berketurunan Tionghoa. Meskipun dokter itu sangat kental akan keturunan Tionghoanya. Ia tidak pernah sedikitpun merendahkan diriku yang hanya pribumi biasa. Ia juga bukan dokter yang “matrealistis”. Ia justru jujur dan memberikan usaha yang terbaik bagi pasiennya. Bukti nyata baiknya hubungan kami adalah jika diriku jatuh sakit, hingga saat ini Aku masih selalu berobat ke dokter tersebut. Usia ku saat ini adalah 20 tahun. Padahal dokter tersebut merupakan dokter spesialis anak. Tidak ada salahnya saling menolong meskipun kita berbeda suku dan budaya. Justru hal tersebut akan menghantarkan kita kepada pengetahuan yang lebih luas dan indahnya kebersamaan.

Intinya, ketujuh (Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan, Kesemestaan) prinsip dari Palang Merah harus tetap ditegakkan seluruhnya karena saling berkaitan. Saat ini kita hidup di era globalisasi dapat berjumpa dengan berbagai orang dengan latar belakang suku, agama, dan ras, yang berbeda. Apabila kita menerapkan salah satu prinsip itu dengan sungguh-sungguh maka, hal itu akan merambat kepada prinsip-prinsip lainnya. Dengan tujuan akan ada suatu titik dimana kita bisa menerapkan semua prinsip tersebut.

No comments:

Post a Comment